Kamis, 05 Juli 2012

Papua.. Buat Yang Belum Pernah Kesana

Papua.. Buat Yang Belum Pernah KesanaGak kebayang sebelumnya, aku bisa pergi sampai ke Papua. Pulau ujung Indonesia dan paling jauh dari tempat tinggalku. Namun, inilah keberkahan. Tuhan mengabulkan salah satu impianku, untuk pergi mengunjungi tempat-tempat di Indonesia. Keberangkatanku ke papua ini menggunakan salah satu maskapai kelas ekonomi (express air). Ada beberapa tempat yang harus saya singgahi untuk sampai ke Jayapura. Dari Jogja menuju ke Jayapura, saya harus transit di Surabaya, kemudian di Makassar, Sorong, dan terakhir di Manokwari, sebelum sampai di bandara Sentani, Jayapura.

adheb doc
Bandara Sentani, Jayapura
            Perjalanan yang cukup melelahkan, sekitar 8 jam di pesawat. Sesampai di sana, betapa terkejutnya kami, karena kereta dorong (trolly) yang ada di bandara sudah habis semua. Trolly yang begitu banyak, ternyata dikuasai oleh porter-porter bandara. Jika ingin menggunakan trolly, maka penumpang harus sekalian dengan porternya. Dan hati-hatilah kalian yang belum pernah ke sana, karena pasti akan dimintai uang yang lumayan banyak oleh porter tersebut, dengan beban kerja yang sangat ringan. 
            Di Sentani ini, kami istirahat beberapa hari terlebih dahulu, sebelum naik ke Wamena, tepatnya di dekat Pasar Lama Sentani. Untuk biaya sekali makan, di sini harganya agak mendingan, kisaran 15-20 ribu rupiah. 
 
adheb's photo
Ruang Tunggu Bandara Wamena
            Setelah sekitar 3 hari menginap di Sentani, kami melanjutkan perjalanan ke Wamena. Untuk ke Wamena, kita harus pesan tiket di Bandara, karena tidak ada tiket yang online. Kami menuju Wamena menggunakan maskapai yang palig umum untuk ke Wamena, yaitu Trigana Air, karena perjalanan menuju ke Wamena belum bisa diakses menggunakan jalur darat, dan semuanya hanya melalui jalur udara. Jika kalian melakukan perjalanan ke Wamena ini maka akan sangat khas penerbangan ini, daripada penerbangan yang lainnya. Saat kalian masuk pesawat, maka pramugari akan menawari teh kotak, dan bilang “tempat duduk bebas, tempat duduk bebas... Perjalanan ke Wamena ini memakan waktu sekitar 1 jam.
            Jika kalian melihat ke bawah saat perjalanan, maka akan terlihat pemandangan yang cukup indah, dengan sungai yang berkelok-kelok, tidak seperti sungai di Jawa yang lumayan lurus. Cuacanya pun sering tidak bersahabat, seperti saat kita memasuki Jayapura dari Manokwari. Pesawat sering turbulensi, karena awan di sana cukup tebal. Pengalaman saat kami over bagasi di Jayapura, maka jika kalian overbagasi lebih baik minta bantuan porter disana, karena poerter bandara mengetahui seluk beluk agar biayanya lebih murah. Terbukti, biaya overbagasi kami yang seharusnya sekitar 1,5 juta, kami hanya bayar sekitar 600 ribu lebih, ditambah uang untuk porter yang mengurus. Total biaya gak sampai 1 juta. 
            Dan jika kalian belum pernah ke Wamena, maka berhati-hatilah jika kalian membawa barang yang cukup banyak. Porter di sana akan meminta untuk membantu kita. Namun, jika kalian tidak menawar sebelumnya, bisa saja kalian dimintai uang, seperti saat kami pertama ke sana, mereka meminta uang 50 ribu untuk sekali angkut tas yang jaraknya hanya 100 meter dikalikan 6 tas. Sebenarnya, saya sendiri saja dapat membawa 2-3 tas, tanpa harus dibanru oleh porter.
            Di Wamena, kita menginap satu malam, sebelum berangkat ke Yogosem, Sebuah desa (di sana dinamakan kampung) yang berada di Distrik Yogosem, Kabupaten Yahukimo. Dan baru pertama kali juga, saya naik pesawat berpenumpang 5 orang, karena untuk menuju ke Wamena, jika tidak menggunakan pesawat, maka kita harus berjalan selama kurang lebih sehari (hitungan orang asli sana). Tetapi untuk orang seperti kita, maka perjalanan memakan waktu 2 hari. 
            Maskapai yang kita gunakan adalah Susi Air, salah satu maskapai carter yang bisa kita sewa untyuk menuju ke pedalaman. Untuk menuju ke sana, tidak ada penerbangan secara reguler, namun kita harus mencarter, baik untuk sekali jalan maupun pulang-pergi. Pesawat yang kita pakai jenis Pillatus, dan maksimal penumpang 5 orang. Tempat duduknya di depan ada 2, untuk pilot dan co-pilot, di tengah ada 3, dan belakang. Untuk yang paling belakang, diisi dengan barang-barang bawaan kita, dengan total seberat 600 kilogram, termasuk penumpang. 
            Jangan heran jika kalian carter pesawat, namun pas hari H tiba-tiba dari pihak maskapai membatalkan penerbangan, dan kalian harus menunggu lagi menginap di hotel, baik semalam, dua malam, tiga malam, bahkan lebih. Seperti itulah pengalaman yang saya alami. Dari total carter 5 kali, saya harus kecewa karena pembatalan dari pihak maskapai berulang-ulang. Total saya kembali menginap di hotel karena gagal terbang saja lebih dari 10 malam, belum dari hal lainnya, dan itupun mereka sama sekali tidak mau menanggung ataupun memberikan kompensasi biaya. Semuanya kami yang harus tanggung. Alasan mereka banyak, mulai dari alasan pesawat grounding, pilotnya belum datang, pesawat belum datang, di bandara tujuan hujan, kabut, maupun berbagai alasan lainnya. Sebenarnya, jika hanya dua atau tiga kali pembatalan dari total sewa kami, kami bisa memakluminya, namun jika terlalu banyak, kami juga ada sedikit rasa tidak percaya. Namun mau gimana lagi,, begitulah Papua. 
            Pengalaman pertama naik pesawat Pillatus, sangat mengesankan (tepatnya sangat menakutkan). Tidak seperti naik pesawat biasa, jika kita naik Pillatus, maka kita akan sering terbang di ketinggian rendah, dapat melihat pemandangan di bawah, dan yang paling nyenengin, kita terbang di sela-sela tebing, di atas sungai. Bayangkan saja, kita terbang menyusuri sungai yang berkelok-kelok, dan beberapa kali ada manuver pada saat sungai berkelok, dan itupun di depan kita ada tebing. Di kecepatan yang cukup lumayan, yang jelas lebih cepat dari motor, kita pasti deg-degan, serasa akan menabrak tebing depan kita. 
            Dan jangan bayangkan landasan pesawatnya seperti bandara pada umumnya. Landasan di pedalaman rata-rata hanya seperti lapangan sepak bola. Ukurannya pun tidak lerlalu luas. Mungkin lebarnya sekitar 7-8 meter, sedangkan panjangnya 50 meter. Permukaannya pun tidak sepenuhnya datar. Hanya landai, dengan agak miring ke atas atau ke bawah. Hampir tiap kecamatan di daerah sini mempunyai landasan pesawat, karena pada zaman dahulu, pihak gereja masuk ke pedalaman-pedalaman, dan untuk mobilitas angkutan, pasti membutuhkan pesawat. Di dekat bandara, pasti ada stasiun radio (SSB) untuk informasi dari tempat tersebut ke tempat lain mengenai keadaan, cuaca, maupun bisa digunakan untuk menginformasikan daerah tersebut ke tempat lain yang sama-sama mempunyai SSB. 
adheb doc
Landasan Pesawat di Distrik-distrk Kecil di Papua
            Pada dasarnya, masyarakat di Kampung Yogosem ramah-ramah dan baik hati. Karena ada suatu hal, maka kami harus kembali ke kota (Wamena) terlebih dahulu, baru kembali ke Yogosem lagi. Untuk kembali ke kota, kami harus jalan kaki, karena perjalanan ini di luar jadwal. Sebenarnya bagi orang asli sana, mere bisa berangkat pagi buta,dan tiba di kota sore hari. Namun, jangan samakan kita ang tidak terbiasa jalan dengan mereka. Kami saja, berjalan selama dua hari satu malam, dengan menginap di rumah salah satu warga di tengah jalan. Bagi orang yang belum pernah naik gunung, maka perjalanan naik turun gunung ini sangat rawan,karna sepanjang jalan, sebelah kita adalah jurang. Jika di samping kanan kita tebing, maka di sebelah kiri kita jurang, begitu juga sebaliknya. Ada juga yang di samping kanan dan kiri kita jurang semua. Namun, pemandangan selama perjalanan ini  sangatlah bagus. Kita bisa menikmati pemandangan di kali mugi, dan diteruskan dengan menyusuri Lembah Baliem yang cukup terkenal, lewat lagunya SLANK. 
            Kembali lagi ke kota, di Wamena, kita istirahat sekitar 5 hari, sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya. Tujuan selanjutnya adalah Yalengga, Desa yang berada di distri Yalengga, Kabupaten jayawijaya, yang berjarak sekitar 2-3 jam dari kota. Untuk menuju ke Yalengga, kita hanya memakai angkutan. Namun, angkutan di sana menggunakan mobil-bobul dobel gardan atau 4 WD, mengingat medan di sana yang cukup ekstrim. Mobil 4 WD di sana cukup banyak, sedangkan jenisnya yang ada antara lain hilux, ford, dan yang paling umum yaitu strada. Jika biasanya hanya melihat mobil-mobil seperti itu hilir mudik di kota hanya untuk gengsi-gengsian bagi orang kaya, sekarang saya baru merasakan fungsi yang sebenarnya, sesuai dengan medan di sana. Perjalanan ke sana, kita melewati distrik Kurullu, yang terkenal dengan wisata mummy nya yang tertua di Indonesia. 
            Cukup lama kita berada di Yalengga, sekitar 15 hari. Kami cukup betah tinggal di sana, karena warga di sana lumayan bersahabat. Selaon itu, mereka juga lebih terbuka terhadap pendatang. Maklum, daerah tersebut lebih mudah diakses bagi mereka yang ingin melihat-lihat, daripada daerah pedalaman seperti Yogosem. 
adheb's colecctions
Kampung Tengah Pulau



            Setelah 15 hari, kita kembali lagi ke Wamena. Dari rencana yang hanya ingin menginap sehari di Wamena, ternyata kami harus menginap selama 5 hari di sana, karena pihak maskapai berkalo-kali membatalkan perjalanan kami dengan berbagai alasan. Di hari ke 5, kita baru bisa melanjutkan perjalanan menuju ke Korupun, desa di Distrik Korupun, kabupaten Yahukimo. Untuk menuju ke Korupun, kita melakukan penerbangan sekitar 1 jam. Perjalanan kami ke sana, memang harus lewat jalur udara, karena jika menggunakan jalur darat, kita harus berjalan selama 10 hari perjalanan. 
            Tiba di sana, perasaan takut pasti menyelimuti, maklum, semua warga semua keluar, berkumpul di landasan begitu mendengar dan melihat ada pesawat yang akan turun. Ratusan warga berkumpul di landasan, begitulah pemandangan yang saya lihat begitu tiba di Korupun. Tak lama kemudian, kami turun. Rombongan warga pun berdatangan, untuk melihat penumpang dari pesawat. Singkatnya, kemudian terjadi obrolan panjang, yang leboh seperti debat, antara kami, beberapa warga dan staff yang menerima kedatangan kami, dan juga mayoritas penduduk yang tidak menginginkan kedatangan kami. Walaupun koordinasi kami sudah matang sebelum datang ke sini, baik dengan pihak staf distrik, staf desa, dan yang paling penting adalah dengan pohak gereja, namun karena situasi dan kondisi saat itu yang sedang panas, kamipun akhirnya memakluminya. Untung saja, kami bisa pulang semua tanpa kurang satupun, mengingat mereka akan menyandera salah satu dari kami. Namun, setelah perdebatan yang cukup panjang, kami bisa pulang dan langsung cabut dari situ. Sebelum turun, kami sudah mempersiapkannya, dengan meminta pilot pesawat untuk menunggu hingga keadaan cukup aman, baru boleh meninggalkan kami. Hanya sekitar 30 menit di Korupun, kami langsung kembali ke Wamena, karena banyak yang menolak.
            Memang, pada saat itu sedang panas-panasnya konflik papua. 3 hari sebelum keberangkatan kami ke Korupun, Ketua 1 KNPB (OPM) tewas tertembak, dan pastinya, orang OPM marah. Dari yang saya lihat, banyak pendukung OPM di Korupun, dan mereka sedang berduka atas kematian ketua mereka. Dari salah satu pembesar di sana, yang tidak menginginkan kedatangan kami, yang mengatakan bahwa dirinya ketua OPM di distrik tersebut, mereka sangat muak dengan adanya militer dan polisi Indonesia, karena menurutnya militer Indonesia tidak punya otak. Dari yang saya tangkap, mereka sangat jarang tersentuh oleh pemerintah, sehingga mereka lebih memilih untuk merdeka, daripada mengakui adanya pemerintahan Indonesia, karena mereka membangun tanahnya sendiri tanpa campur tangan ataupun bantuan dari pemerintah Indonesia. Dalam pandangan mereka, jika merdeka, maka hidup mereka akan lebih sejahtera daripada saat ini. 
            Setelah ada celah untuk bisa pulang, langsung saja waktu tersebut tidak kami sia-siakan, dan kami langsung kembali ke Wamena. Rencana tinggal di sini selama 2 minggu terlewat, dan hanya setengah jam saja kami di sana, dengan mencarter pesawat puluhan juta. Paling tidak, saya pernah menginjakkan kaki di tempat tersebut.
            Di Wamena, kami menginap sekitar 5 hari. 10 hari lebih saya tinggal di kota tanpa kejelasan. Dari rencana akan turun ke Jayapura, ternyata kami harus kembali lagi ke Yogosem secara mendadak. Dan kamipun harus kembali, menyelesaikan tugas sebelumnya yang belum selesai. Kami tinggal di sana sekitar 1 minggu. Masyarakat di sana sudah mengetahui akan kedatangan kami, karena sebelumnya kami sudah berjanji, bahwa suatu saat kami akan kembali. Sebelum ke sana, kami juga sudah bertemu dengan kepala kampung saat di Wamena.
            Akhirnya, selesai sudah keberadaan kami di Wamena, dengan selesainya Yogosem. Sebelum turun, saya istirahat 2-3 hari  sambil membeli oleh-oleh khas Wamena, seperti sarang semut, koteka, maupun barang – barang lain, baru turun ke Jayapura. Begitu pula di jayapura, kami menginap selama 5 hari sambil menyelesaikan laporan, agar saat kembali, tugas-tugas kami beres semua. Tak lupa saya membeli oleh-oleh titipan temen-temen di sana. Dan... selesai sudah perjalanan kami di Papua, selama hampir 2 bulan. Puas sudah saya berada di sini, pulau yang sebelumnya gak kebayang saya akan bisa mengunjunginya...

Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan pembaca berkomentar dengan santun untuk memberikan saran dan masukan kepada kami, terimakasih.