Jumat, 27 Juni 2014

Di Timur Matahari, Wamena Yang Sebenarnya

Di Timur Matahari - Sebuah film karya Ari Sihasale, yang cukup fenomenal bagi saya, karena memang betul-betul menggambarkan keadaan di daerah ini, karena saya sendiri mengalaminya dan berada di sini saat menulis ini. Gak tau kenapa, walaupun sudah mempunyai film ini sewaktu di Jogja, tetapi baru kali ini saya sempatkan untuk menontonnya. Di Wamena ini, malam terakhir sebelum kami meninggalkan Wamena, untuk menuju ke Jayapura, dan kembali ke Jogja. Pas sekali flm ini saya tonton, di hari terakhir saya berada di sini, setelah 40 hari keliling Kabupaten Jayawijaya ini.
adheb's foto
Kayo, ICON Kota Wamena
Wamena, sudah tidak asing lagi bagi saya, karena di tahun 2012 saya pernah di sini selama satu setengah bulan, berkeliling di beberapa kabupaten di sini seperti Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Mamberamo, dan Kabupaten Jayawijaya ini sendiri, khususnya di Kabupaten-Kabupaten yang berada di Pegunungan Tengah. Kemudian kembali lagi ke Pegunungan Tengah ini sehabis lebaran selama sebulan. Perjalanan selama tiga kali ini, bukan saya tinggal di kota, melainkan menuju ke daerah-daerah pedalaman, sehingga tahu bagaimana kehidupan orang pegunungan tengah ini.
Di pegunungan tengah ini, orang mengatakan, belum merasakan Papua, kalau kalian belum pernah ke Wamena. Jika kalian belum pernah ke Papua sama sekali, kata itu sama sekali tidak berpengaruh, karena kalian belum pernah melihat Papua secara langsung, tetapi, bagi saya itu adalah kata yang memang benar-benar asli. Itu adalah kata yang sebenarnya, dimana Papua terkenal dengan adat istiadatnya, dan yang masih ada sampai sekarang seperti di Pegunungan Tengah ini. Saya mengatakan ini, karena selama beberapa kali saya ke Papua seperti ke Keerom, Jayapura baik Kota maupun Kabupaten, Sorong, Raja Ampat, Mimika, Fak-Fak, dan Kabupaten Bintuni, yang merupakan daerah-daerah yang pernah saya kunjungi, tidak semenarik, tidak sekeras, dan tidak senatural daerah di Pegunungan Tengah ini.
Perjalanan saya ke Pegunungan Tengah ke tiga kali ini, saya tidak membawa cerita banyak, hanya sebuah catatan spontan kecil ini, sesaat setelah saya menonton film Karya Ari Sihasale ini, yang mengambil tempat di Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Sebuah tempat yang jaraknya sekitar 3 jam dari kota (jangan me gukur jarak di sini dengan kilometer seperti di Jawa, karena di sini akan lebih akurat jika kita mengukurnya dengan waktu, meliihat topografi di sini dengan kontur yang cukup rapat dalam bahasa geografi). Walaupun saya belum pernah ke Kabupaten tersebut, tetapi saya pernah melihatnya dari jauh, dari Distrik Piramid, saat saya berada di sana. Dari Piramid ini, perjalanan menuju ke Tiom masih sejam lagi. Semua akses ke Pegunungan Tengah berpusat di Wamena ini, sebagai satu-satunya jalur utama menuju ke setiap daerah, dan semua pasokan dari Jayapura, melalui udara.
Cukup dengan menonton film ini dan membaca catatan kecil saya, maka seperti itulah keadaan di sini. Yang perlu diteladani di sini intinya adalah kesatuan dan persatuan warga Papua, bahwa mereka sebenarnya satu, hidup damai dan saling mengasihi antar sesama, sesuai dengan mayoritas ajaran yang mereka anut di sini. Walaupun setiap hari masih ada kerusuhan, pencurian, kekerasan, denda, dan sebagainya, namun mari kita ambil hikmahnya, semangat untuk memperbaiki itu semualah yang harus kita pikirkan, seperti film ini salah satunya. Jika warga bisa menonton dengan ‘hati’, maka kekerasan dan perpecahan di sini akan semakin berkurang. Untuk itulah, perlu adanya gebrakan-gebrakan lain, ide-ide lain yang selalu bermunculan, agar keadaan di sini semakin berubah lebih baik, tanpa harus meninggalkan budaya yang sangat unik di sini. Ide seperti itulah yang sangat diperlukan, sebagai kontribusi kita sebagai bangsa Indonesia, dan keyakinan kita bahwa Papua adalah bagian dari kita, bagian dari Bangsa Indonesia. Karena bagaimanapun juga, walaupun ribuan pulau, tetapi kita tetap satu. INDONESIA RAYA.
Beberapa hal kecil yang menarik, tidak seperti di tempat lain adalah cara orang sini yang sering bergandengan tangan, tidak peduli sesama perempuan, laki-laki perempuan, dan yang paling sering saya jumpai sesama laki-laki yang saling bergandengan tangan. Bukan karena mereka homo, tetapi itulah bentuk kasih sayang mereka, bahwa mereka sangat sayang terhadap sesama, melebihi sayang kita terhadap sesama di daerah lain. Perhatikan juga cara salaman mereka, yang cukup unik, dan selalu berkata terima kasih atas setiap bantuan, dan masih banyak lagi lainnya.
Film ini cukup menariik bagi saya, walaupun kekerasan masih banyak terjadi, namun cukup menyentuh, membuat saya ingin kembali lagi ke tempat ini kelak., ataupun menjamah daerah tertinggi di atas sana, yang merupakan cita-cita saya suatu saat yang entah kapan bisa terwujud. Semoga bisa menginspirasi kalian yang membaca, agar juga memikirkan rakyat Indonesia yang ‘terpinggirkan’ ini, di sela panasnya persaingan pilpres saat ini. Sebagai intermezo berita persaingan saat ini, karena pada intinya adalah bagaimana supaya rakyat Indonesia ini semakin sejahtera.
Cinta dan kedamaian akan membawa kebahagiaan bagi anak kita kelak,,
We Love Papua. ITU SUDAHHH….      (aiiiiiiiiii)
Sedikit catatan di sini, Wamena, Jayawiya, Pegunungan Tengah Papua, 27/06/14

Minggu, 22 Juni 2014

Kurullu, The Beauty of Wamena

Kurullu, The Beauty of Wamena - Di sinilah ikon dari Wamena, atau dari Kabupaten Jayawijaya ini. Ada beberapa alasan mengapa disrik kurulu yang paling banyak dicari oleh para turis, baik domestik maupun mancanegara. Pertama, karena daerahnya yang dekat dengan kota. Dari kota, kita bisa menuju ke daerah ini tidak sampai satu jam. Baik naik mobil dobel gardan, naik angkot, bahkan naik kendaraan bermotor pun kita bisa menjangkaunya. Jika naik angkutan, dari Wamena kita menuju ke pasar Jibama atau orang biasa sebut Pasar Baru seharga 5 ribu. Lalu, dilanjutkan ke Kurulu, cukup membayar 10 ribu.
adheb's photo
Berfoto dengan Mumy Wim Motok
Untuk jurusan Kurulu, angkutan putih cukup banyak, tinggal kita cari saja di pojokan belakang, yang bertulis KL, kita akan sampai ke kurulu. Namun, jika naik mobil apa saja bisa juga, baik mobil arah Yalengga, Bolakme, Tolikara, Eragayam, Ninia, Mamberamo, ataupun Puncak. Yang ke dua, karena tempat di daerah ini sering diadakan festival, seperti Festival Lembah Baliem yang cukup terkenal, karena selalu rutin diadakan setiap tahun. Festival Lembah Baliem ini beberapa kali diadakan di kampung Wosi, sehingga kampung ini cukup terkenal bagi mereka yang pernah melihat festival ini.
adheb's photo
Kayo, Icon Wamena
Yang ke tiga, di daerah ini terdapat wisata mummy terkenal, yaitu Mumi Wim Motok Mabel, di Sompaima, Kampung Jiwika, Kurulu. Mumi ini cukup terkenal, karena merupakan salah satu mumi tertua di dunia, dan yang paling tekenal di daerah Lembah Baliem ini. Konon, menurut sang juru kunci, umurnya saat ini sudah 371 tahun. Berbeda dengan mumi di negara lain yang diawetkan dengan formalin, mumi Wim Motok ini diawetkan dengan cara diasap. Zaman dahulu, kepala suku yang merupakan keturunan suku Dani generasi ke tujuh tersebut sangat dihormati, dan ketika meninggal pada saat perang, warga mengabadikannya dengan mengasap, sebagai salah satu wasiatnya sebelum meninggal.

Di kampung ini kita bisa berfoto dengan mumi Wim Motok. Namun, biasanya akan dikenakan tarif 40 ribu per orang. jika sudah sama-sama deal, maka mumi akan dikeluarkan dari honai oleh penjaganya, dan kita bisa foto bersama mumi tersebut. di area ini, mereka juga memajang aneka barang khas pegunungan tengah sini untuk dijual seperti noken, koteka, kalung babi, kalung kasuari, kapak batu, perhiasan bulu kasuari, dan lainnya. Kita bisa membelinya dengan harga bervariasi, sesuai dengan hasil tawaran yang sudah disetujui.

Yang paling disukai oleh pemuda, di sini mereka menggunakan pakaian adat jika ada pengunjung datang. Yang laki-laki menggunakan koteka saja, untuk menutupi alat kelaminnya, sedangkan yang perempuan menggunakan daun rumbia. itulah yang paling disukai. Bagi para cewek, kalian bisa berfoto dengan laki-laki berkoteka, dan bagi para cowok, bisa berfoto ria dengan perempuan-perempuan bertelanjang dada. Namun, setiap foto yang diambil, mereka akan meminta uang. Umumnya sejumlah 10 ribu tiap warga yang diajak foto.

bagi saya, yang sudah tinggal beberapa hari di sini, ini adalah hal biasa, karena setiap hari pasti menjumpai orang pakai koteka. Namun, jika kalian belum pernah ke sini, pasti hal seperti ini sangat mengagumkan, karena kita serasa di negeri zaman dahulu, zaman purba. Yang jarang diketahui, adalah bahwa jika para pengunjung sudah pulang, maka mereka akan berpakaian seperti biasa, memakai baju lagi, walaupun masih ada yang memang sehari-harinya memakai koteka dalam sehari-hari.
adheb's photo
Orang Dengan Pakaian Khas Pegunungan Tengah
Yang terakhir, yang membuat daerah ini terkenal adalah si Denias yang pasti diketahui oleh para penggemar film. Dengan filmnya, “Negeri di Atas Awan”. Film tersebut juga diambil di kampung ini, di belakang area mumi. Wajar memang, karena panorama di sini memang begitu indah, dan menakjubkan bagi saya, dengan bukit-bukit yang sangat mempesona, dengan beberapa honai yang ada. Bagi kalian yang belum pernah, hal semacam ini sangat jarang kalian temui, di Papua sekalipun kecuali kalian ke Papua bagian Pegunungan Tengah ini, dengan puncaknya yang terkenal, Puncak Cartenz. Siapkan saja tabungan dari sekarang, karena wisata seperti ini bukanlah wisata yang murah. haha.... Selamat mencoba kawan...

Selasa, 10 Juni 2014

Ambulance Yang Tersandera

Ambulance Yang Tersandera - Ambulance, bagi kita yang sedang sakit dan harus ke rumah sakit, merupakan moda transportasi yang diperlukan, apalagi jika digunakan untuk pengantar pasien oleh puskesmas atau rumah sakit. Sewajarnya, jika puskesmas mempunyai alat transportasi tersebut untuk mobilisasi pasien. Namun, tidak begitu dengan Puskesmas Yalengga ini. Mobil ambulance yang sekiranya digunakan sebagai fasilitas pemerintah ini malah dibawa oleh kepala puskesmas. Payahnya, sudah 4 tahun kepala puskesmas tidak pernah datang ke sini. Otomatis, jika ada pasien yang memerlukan rujukan ke rumah sakit, harus menggunakan angkutan umum untuk menuju ke kota.
Mobil Ambulance
Padahal, pemerintah menganggarkan fasilitas tersebut untuk menunjang aktifitas puskesmas, agar pelayanannya bisa maksimal. Jika tidak ada pasien, mungkin mobil tersebut bisa digunakan untuk antar jemput petugas puskesmas yang semuanya tinggal di kota, walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan. Seperti di Puskesmas Hubikoshi misalnya, yang selalu menggunakan mobil ambulance untuk antar-jemput petugas. Hal seperti itu sebenarnya bisa memaksimalkan tingkat kehadiran petugas puskesmas. Bayangkan, jika setiap hari petugas puskesmas berangkat dari kota sejauh 40 kilo meter, dan mengeluarkan biaya 30 ribu sekali jalan. angkutan menuju ke puskesmas pun tidak selalu lancar. Jadi, jika mereka tidak masuk ataupun telat tiba di puskesmas, adalah hal yang wajar bagi mereka. Belum lagi adanya pemalakan di tengah jalan, warga yang mencegat mobil dan meminta uang. Hal seperti inilah yang paling tidak disukai petugas.
Namun jika ada mobil untuk antar jemput, maka mereka tidak usah bingung mencegat angkutan setiap hari, cukup mobil tersebut yang akan menjemput petugas, dan petugas bisa datang tepat waktu. Sehingga, pasien yang akan berobat ke puskesmas tidak selalu harus menunggu di depan puskesmas, sampai petugas puskesmas datang dan memberikan pelayanan. Di saat sekarang ini, hal seperti ini yang paling dibutuhkan oleh petugas, mengingat mereka juga masih takut akan keamanan di daerah, jika mereka harus tinggal di area puskesmas. Belum lagi fasilitas yang minim seperti air, listrik yang belum tentu ada.