Minggu, 13 Juli 2014

Masyarakat Papua, Belum Begitu Membutuhkan Uang

Masyarakat Papua, Belum Begitu Membutuhkan Uang - Aneh memang, jika orang berkata seperti itu. Mana ada, orang tak butuh uang di dunia  ini. Namun, jika kita telisik lebih mendalam, masyarakat di pegunungan tengah ini (Jayawijaya, Mamberamo, Tolikara, Ninia, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Puncak, dan Kabupaten lain di Pegunungan Tengah) secara tidak langsung masih hidup dengan pola dahulu, walaupun secara kasat mata, mereka juga menggunakan uang dalam kehidupan sehari hari.
adheb's photo
Babi yang Sedang Menyusui
Dalam kehidupan sehari-hari, untuk makan misalnya, mereka masih mengandalkan kebun untuk mencukupi kebutuhan. Buah-buahan di sini juga melimpah, sebagai bahan makan mereka. Mereka mempunyai lahan yang cukup luas. Biasanya, mereka akan menanam ubi sebagai makanan utama mereka, dengan cara berpindah-pindah. Jika sebuah areal sudah ditanami ubi dan sudah dipanen, mereka akan menanami tempat lain, dan lahan tersebut mereka biarkan, kemudian pindah ke tempat lain lagi, sampai mereka kembali akan menanami lahan yang pernah mereka tanami. Maka jangan heran jika banyak lahan yang orang lain bilang, sebagai lahan terlantar.

Bagi mereka, lahan tersebut bukanlah terlantar, tetapi memang dibiarkan begitu saja, bahkan sampai rumput tumbuh tinggi. Tetapi, suatu ketika mereka akan mempergunakannya untuk menanam ubi atau sayuran lain untuk kebutuhan hidupnya. Sistem ladang berpindah seperti ini masih ada di sini hingga sekarang. Sampai saat ini, untuk menggali tanahpun mereka hampir semuanya menggunakan sekop, karena mereka dari dulu diajarkan menggali dengan alat tersebut. Mereka merasa aneh atau tidak terbiasa, bahkan ada yang mengatakan, merasa pegal jika harus menggali tanah dengan cangkul seperti orang Jawa pada umumnya.

Tidak hanya sebagai makanan manusia, karena ubi di sini juga untuk makanan peliharaan mereka di sini, babi. Sebagai alat tukar dari zaman dahulu, babi tetap saja digunakan warga sini seperti untuk mas kawin, alat sosial, yaitu sebagai sumbangan jika ada duka/ warga yang meninggal, untuk acara berbagai selamatan dengan bakar batu, maupun acara lainnya. itu adalah alat utama mereka, dengan harga jual yang tinggi di sini, sekitar 50-60 juta per ekor babi yang sudah besar.

Namun, di sini  pernah terjadi penyakit mematikan. Penyakit sejenis kolera, yang membuat babi mati secara tiba-tiba, sampai babi di sini tinggal sedikit, sehingga membuat harga babi melonjak sampai seperti sekarang ini. Karena persebaran babi yang sedikit ini, membuat warga sedikit beralih dalam kegiatannya, seperti menggunakan uang sebagai tambahan mas kawin jika babi kurang, ayam sebagai pelengkap bakar batu saat kekurangan babi, ataupun beras, minyak, uang dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan oleh warga saat duka sebagai pengganti babi. Begitu juga uang sebagai tambahan denda jika ada suatu permasalahan, dikalkulasikan dengan harga per ekor babi di sini.

Jika mereka membutuhkan uang, maka mereka akan menjual babi ataupun hasil kebun ke kota. Namun, jika belum butuh, maka mereka hanya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-harinya. Jika mereka ke kota, maka biasanya mereka yang membutuhkan uang, dan menjual barang mereka Untuk itu, kita bisa menawar dengan harga yang lebih murah karena merekalah yang membutuhkan uang, namun jika kita datang ke mereka, dan membeli babi misalnya, maka bisa saja akan diberi harga yang mahal, karena mereka menganggap kita yang butuh. Sedangkan mereka belum begitu membutuhkannya. Makanya, jika anda memerlukan sesuatu, sebaiknya beli saja di pasar, agar mendapatkan harga yang  wajar.