Rabu, 25 Maret 2015

Pertama Kali ke Sumatera Selatan

Pertama Kali ke Sumatera Selatan - Mendengar Sumatera, akhir-akhir ini sering terdengar kasus begal, rampok, dan sebagainya yang selalu terberitakan lewat berbagai media. Ya, Sumatera, Lampung, dan beberapa daerah sekitarnya, kerap kali tersiar di tv, aksi kawanan rampok atau begal, yang bahkan akhir-akhir ini menjamur sampai ke Jawa dan daerah lain di Indonesia. Mungkin itu yang ditakuti orang, ketika pertama kali datang ke Pulau ini.
adheb's photo
Jembatan Ampera Palembang
Pertama kali tiba di Palembang, yang ada di benak saya adalah kotanya, yang cukup ramai. Mungkin lebih ramai daripada Jogja. Panas, memang daerah di sini dengan suhu yang lumayan tinggi. Namun, saya cukup senang di sini, untuk beberapa minggu di awal perjalanan ini, saat di kota, dimana sebelumnya berfikiran bahwa masyarakat kota di sini mirip dengan masyarakat di Jakarta yang individualis. Ternyata, lebih baik dari yang saya kira. Setiap kali saya bepergian sendiri, dan menanyakan suatu alamat, mereka selalu menjawabnya dan mengarahkan kami. Bahkan, beberapa kali menjelaskan dengan detail rute yang harus saya tuju. Mungkin sudah kebiasaan mereka, jika harus berhati-hati, mereka juga seringkali mengngingatkan saya untuk menjaga diri, agar selalu waspada, siapa tau ada orang yang jahat di perjalanan.
Pernah suatu kali, saya meninggalkan tas dan hp di depan rumah, hanya berjalan sekitar 10 meter saja, kemudian yang punya rumah mengingatkan untuk menjaga barang-barang saya. Berkali-kali dia mengingatkan saya, bukan karena marah, tetapi memang karena mereka ingin agar saya menjaaga setiap barang yang saya bawa dengan baik, dan jangan sampai lalai.
Itu baru di seputaran kota. Terus bagaimana dengan di desa? Selama perjalanan saya di Sumatera, rata-rata warga desa cukup ramah, hampir sama dengan warga di Jawa pada umumnya. Mereka aan berbaik hati kepada kita, selama tujuan kita juga baik di daerah mereka, dan tidak melakukan hal yang bisa mengganggu mereka.
Ada beberapa hal di masyarakat sini yang tidak biasa, seperti layaknya di Jawa. Secara umum, yang saya temui antara lain: jika kita menanyakan suatu arah mata angin. Banyak yang tidak mengetahuniya. Mungkin kalau hanya sebatas mata angin, mereka tahu. Tetapi, untuk menjelaskan arah, banyak yang kesusahan untuk mengatakan ke timur, barat, atau selatan. Mereka akan menjawab ke kanan atau ke kiri, karena jika kita tanya ke selatan, atau ke timur, mereka akan semakin bingung. Maklumlah, di sini banyak daerah yang tidak lurus, jalan yang mengikuti aliran sungai, dan berkelok-kelok. Pun begitu, jika dibandingkan dengan orang-orang di Jawa, biasanya mereka tetap tahu mana arah utara dan mana arah selatan, walau mereka juga ada yang demografisnya tidak rata.
Kedua, lagi-lagi masalah arah. Sering sekali saya melihat orang yang menunjukkan arah sebaliknya. Pernah beberapa kali saya bertanya suatu tempat. Dan mereka menunjukkan untuk belok ke kiri, kemudian ke kanan. Namun kenyataannya tidak demikian. Misalnya, saya sudah tahu arah suatu tempat dari sini misalnya, belok kanan, lalu belok kiri. Saya coba bertanya, mereka menjawab belok kiri, lalu belok ke kanan. Entah jawaban mereka dari arah sana (tempat tujuan atau bagaimana) yang jelas, jawaban mereka berbalik dengan arah yang akan kita tuju dari tujuan saat kita bertanya. Beberapa kali juga saya menjumpai, mereka mengatakan arah, namun dengan menunjukkan arah tangan yang berbeda dengan ucapan. Misalnya, mereka berkata ke kanan, lalu ke kiri (di mulut) namun arah tangan yang mereka tunjukkan ke kiri, lalu ke kakan.
Sampai sekarang saya belum mengerti juga terkait hal ini, entah frasenya yang berbeda dengan kita (seperti bahasa inggris aja, yang berkebalikan dengan bahasa Indonesia) atau mungkin biasanya mereka menjelaskannya dari tempat yang kita tuju ke arah sekarang (start saat bertanya) atau ada hal lain lagi. Terkait hal ini, satu hal yang agak berbeda dengan orang Jawa terkait bilangan. Setengah dua ratus misalnya, itu artinya dua ratus lima puluh, sedangkan kebiasaan di Jawa kebalikan, dua setengah.
Ke tiga, masalah keamanan. Hampir di semua tempat di Sumsel ini, di setiap daerah pasti kita selalu diwanti-wanti untuk jaga diri, jaga barang-barang kita. Hampir di setiap daerah ada orang yang bercerita tentang ketidak amanan daerah mereka, jangan pergi sendirian, jangan pulang malam, atau jangan taruh motor agak jauh. Mungkin mereka trauma, seringnya terjadi peristiwa perampokan atau begal. Bukan karena dicuri, karena jarang saya mendengar masalah pencurian di sini, tetapi untuk masalah begal, hampir selalu terdengar. Maklum, sekarang ini harga karet yang merupakan penghasilan mayoritas orang sini anjlok 
Dulu yang harganya sampai 20 atau 25 ribu, beberapa tahun belakangan hanya di kisaran 7 ribuan. Makanya, jika tidak punya uang, kebiasaan mereka adalah merampas (mbegal). Mungkin bagi saya sendiri ini hal yang tidak biasa, karena di beberapa tempat saya merasa akan aman lewat suatu daerah sendirian, seperti di Jawa atau pulau lain, tetapi yang saya takutkan adalaha malah perkataan warga untuk tidak pergi sendirian, atau tidak lewat terlalu sore. Ya, mau tidak mau kita harus mengikuti perkataan mereka, demi kebaikan kita juga. Tetapi yang jelas, selama keliling Sumsel ini belum pernah sekalipun saya menemui atau mendengar ada begal, di saat saya berada di daerah tersebut. Semoga selalu aman-aman saja...

Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan pembaca berkomentar dengan santun untuk memberikan saran dan masukan kepada kami, terimakasih.