Selasa, 23 Juni 2015

BPJS KESEHATAN : JANGAN HANYA POMOSI, PERBAIKI JUGA SISTEM DI DALAMNYA

BPJS Kesehatan
BPJS KESEHATAN : JANGAN HANYA POMOSI, PERBAIKI JUGA SISTEM DI DALAMNYA - BUMN Kesehatan milik pemerintah yang mulai beroperasi sejak awal tahun 2014, sekarang sedang tumbuh pesat. Bahkan, hingga 2019 nanti, semua masyarakat Indonesia sudah wajib mempunyai kartu berobat ini. Tak ayal, promosi BPJS selalu gencar baik oleh dinas kesehatan terkait, ke masyarakat, ke perusahaan, dan lainnya dengan berbagai kegiatan.

Untuk warga miskin, iuran akan ditanggung oleh pemerintah, tetapi untuk masyarakat umum, mereka bisa memilih besaran iuran yang akan dibayarkan per bulannya. Apakah ikut yang kelas 1 (59.500 per bulan), kelas 2 (42.500 per bulan), ataukah kelas 3 (25.500 per bulan). Dengan bertambahnya pemegang kartu BPJS, maka bertambah pula intensitas kunjungan pasien ke tempat berobat. Kini masyarakat sudah tahu, dan pastinya mereka akan memanfaatkan layanan berobat gratis tersebut sebaik mungkin.

Berhubung sudah mempunyai kartu BPJS, maka tentunya mereka akan memilih tempat berobat yang lebih berkelas. Dahulu, jika hanya sakit biasa seperti flu, demam, mereka cukup berobat ke pustu (puskesmas pembantu) karena letaknya yang cukup terjangkau dari rumah. Karena jika ke Puskesmas, maka jarak yang ditempuh biasanya akan sedikit lebih jauh, atau jika ke tempat praktek swasta, biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal.

Sekarang, dengan adanya BPJS, maka masyarakat lebih memilih ke tempat yang fasilitasnya lebih mumpuni. Jika dulu hanya ke pustu, maka paling tidak sekarang beralih ke puskesmas atau ke Rumah Sakit sekalian. Kenapa? Karena dengan tarif yang sama-sama gratis, dalam hal fasilitas tentunya lebih bagus, lebih komplit, baik dari segi dokter atau dokter spesialis, alatnya, dan juga obat yang lebih bervariasi dan lebih lengkap. Jika Rumah sakit terlalu jauh, cukup pergi ke klinik yang bekerja sama dengan BPJS, karena biasanya di sana juga tersedia dokter yang siap melayani pasien, atau sekalian ke dokter langganan yang sudah bekerja sama dengan BPJS.

Dahulu, jika hanya sakit ringan, masyarakat menengah ke bawah lebih memilih membeli obat di warung dekat rumah sesuai obat yang biasa mereka konsumsi, daripada pergi ke pustu atau puskesmas yang hanya dapat obat generik biasa yang tidak begitu berpengaruh. Sekarang, jika sakit sedikit saja, maka mereka akan pergi ke puskesmas untuk berobat. Apalagi masyarakat yang berada di pinggiran, biasanya mereka akan mampir ke puskesmas sekalian belanja ke pasar mingguan. Itulah sebabnya, di beberapa daerah, puskesmas akan ramai kunjungan di saat hari pasar daerah tersebut. Terus bagaimana dengan nasib pustu sekarang ini? Tentunya, di beberapa daerah intensitas kunjungan cenderung menurun, sejak diberlakukannya BPJS oleh pemerintah tahun lalu.

Pernah, suatu ketika saya berbincang-bincang deangan kepala pustu di suatu daerah. Beliau bercerita, bahwa semenjak adanya BPJS, maka jumlah kunjungan pasien semakin menurun. Hal tersebut tidaklah terjadi di tempat ini saja, melainkan hampir di setiap pustu di daerah ini, dan juga di daerah lain. Dahulu, saat memakai sistem karcis, pasien sehari rata-rata 50-100 orang, sekarang hanya sekitar 10 orang, paling banter 20 orang per harinya. Walaupun dengan membayar, kebanyakan pasien puas, karena obat yang mereka terima sesuai dengan keinginann mereka, tidak hanya obat generik saja, tetapi ada juga obat mandiri yang dibeli oleh puskesmas/pustu. Pustu pun juga bisa mengelola keuangannya sendiri, salah satunya dengan membelanjakan obat dari hasil karcis, jika obat tersebut tidak disetok oleh dinas.

Namun sekarang hal tersebut sudah tidak bisa lagi, mengingat semua obat didrop dari dinkes. Jika dropping obat komplit, hal ini tidak menjadi masalah, namun hampir setiap bulan selalu ada saja ada kebutuhan obat yang kosong atau kiriman yang tidak sesuai kebutuhan yang ada. Tidak tahu juga, apakah stoknya yang minim, ataukah memang benar tidak ada stok dari atas.

Untuk Puskesmas sendiri, disini mendapat jatah 75 % dari total obat yang ada, dan sisanya, untuk 25% dibagi sejumlah pustu di bawah puskesmas tersebut. Jika di wilayah Puskesmas ada 5 pustu saja, maka setiap pustu hanya akan mendapatkan jatah 5% dari total jatah obat yang ada. Itulah sebabnya, dia sering iris, karena pengobatan yang dilakukan di sini hanya seadanya. Jika ingin maksimal, pasien harus pergi ke tempat lain yang lebih besar seperti ke Puskesmas. Jika sama-sama habis, maka seringkali paisen hanya diberikan resep untuk ditebuskan di apotek dengan membayarkan biaya sesuai harga obat.

Beban kerja sekarang, jika di Pustu sangat santai, karena pasien yang datang sedikit. Malahan, lebih banyak melakukan kegiatan administrasi pengurusan BPJS daripada tugas pokok, yaitu melayani pasien. Untuk masalah klaim, dari yang dijanjikan turun bulanan, kenyataanya turun 3 bulanan. Itupun turunnya bukan di akhir bulan, melainkan beberapa bulan berikutnya, sehingga kadang malas untuk mengecek kembali antara klaim yang diajukan dengan hasil yang diperoleh, apakah sudah sesuai atau tidak. Malahan, semua pustu di sini, 2 bulan terakhir tahun kemarin (November dan Desember) tidak memperoleh klaim, padahal mereka sudah mengumpulkan semua klaim sesuai persyaratan yang selalu diminta.

Tentunya, oknum yang tidak bertanggungjawab lah yang memotongnya. Bulan-bulan biasa, hasil kapitasi (klaim) BPJS pun tidak seberapa, mengingat kalim yang didapat disesuaikan dengan jumlah kunjungan pasien tiap bulannya. Biasanya, habis untuk mengurus syarat administrasi seperti untuk fotocopy, transport, atau lainnya. Itulah sekelumit perbincangan dengan salah satu pegawai kesehatan di sini.

Yang perlu dipertanyakan, sejauh mana pihak terkait memenej permasalahan-permasalahan yang ada,seperti hal tadi salah satunya. Selain klaim yang sering terlambat, pasien yang masih saja susah mengurus klaim persyaratan BPJS di Rumah Sakit, oknum pegawai Rumah sakit yang kadang sewenang-wenang terhadap pasien pengguna BPJS khususnya pemegang kartu kelas 3? Semoga ke depan ada petugas internal yang bisa memonitoring permasalahan yang ada, baik dari atas sampai ke bawah agar permasalahan-permasalahan yang ada semakin berkurang. Tidak hanya fokus ke penyerapan pemakai kartu saja, apalagi dengan isu seperti sekarang ini, menaikkan besaran iuran bulanan dengan alasan dana yang disediakan minim, sedangkan penggunaan semakin membengkak.