Senin, 20 November 2017

Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, sebuah resensi buku M.Quraish Shihab


adheb
Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah
A.    Pakaian
Sandang atau pakaian adalah suatu kebutuhan pokok. Semua manusia, kapan dan dimanapun, maju atau terbelakang beranggapan bahwa pakaian merupakan suatu kebutuhan, dan mereka pasti akan membutuhkannya, paling tidak kertika musim dingin. Tetapi di sisi lain, pakaian merupakan suatu keindahan. Orang Papua misalnya, memakai koteka, karena koteka dianggap indah. Orang berupaya menampilkan keindahan melalui apa yang dilakukan dan dipakainya. Pakaian juga bisa memberikan dampak psikologis bagi para pemakainya. Misalkan, hakim mengenakan pakaian kebesarannya agar terlihat berwibawa, atau seseorang yang sengaja memakai sorban agar terlihat agamis/ islami.
Pakaian adalah produk budaya, sekaligus tuntunan agama dan moral, sehingga lahirlah pakaian tradisioal, nasional, dan lain sebagainya. Tuntunan agama pun lahir dari budaya masyarakat, karena agama sangat mempertimbangkan kondisi masyarakat, dan menjadikan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilainya sebagai salah satu pertimbangan hukum.
Memakai pakaian tertutup bukanlah monopoli di masyarakat Arab. Menurut Murtadha Muthahari (filosof besar Iran) pakaian penutup telah dikenal di kalangan Sassan Iran, karena tuntutannya lebih keras daripada yang diajarkan oleh Islam. Ada pula pakar yang mengatakan bahwa orang Arab meniru Persia yang beragama Zardasyt, yang menilai bahwa wanita adalah makhluk yang tidak suci, sehingga harus menutupi mulut dan hidung agar nafas mereka tidak mengotori api suci sesembahan.
Ada beberapa pakar yang mengatakan alasan seseorang memakai pakain penutup antara lain karena kerahiban (ingin lebih baik) alasan keamanan, atau ekonomi. Namun, itu semua hal tersebut tidak sesuai dengan pandangan Islam.
Dalam An-Nahl ayat 81, dijelaskan bahwa fungsi Al-Quran adalah untuk menjaga dari hawa panas/ dingin, dan membentengi diri dari hal-hal yang akan mengganggunya. Dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dijelaskan bahwa fungi pakaian adalah sebagai pembeda antara sifat seseorang dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an surat Al A’raf ayat 26, dijelaskan bahwa pakaian berfungi sebagai penutup aurat dan sebagai hiasan.
Menurut pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh terlihat, kecuali dalam keadaan mendesak/ darurat. Aurat perlu ditutupi agar hal–hal yang bersifat rawan bisa dihindari, karena dalam agama tidak diperintahkan untuk membunuh nafsu, tetapi untuk mengendalikan nafsu.
Dalam suatu riwayat, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa kaki perempuan bukanlah suatu aurat, karena pada waktu itu disana banyak wanita desa yang berjalan kaki tanpa alas, sehingga akan menyulitkan jika harus dijadikan aurat. Abu Yusuf berpendapat bahwa kedua tangan bukanlah aurat, karena menutupi keduanya akan melahirkan kesulitan. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan secara rinci batas batasan aurat
B.    Al-Qur’an dan Batas Aurat Wanita
Secara garis besar dalam konteks pembicaraan tentang aurat wanita ada2 kelompok besar ulama di masa lampau. Ada kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Karena agama memberi kelonggaran kepada pria untuk melihat wajah dan telapak tangan wanita. Tetapi bebeda dengan kelompok satunya yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa terkecuali adalah aurat.
Pakar tafsir Al-Biqa’i menyebutkan makna dari jilbab adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudungnya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Terkait pakaian wanita, semua ulama setuju bahwa wanita yang sudah tua tidak berdosa jika menanggalkan pakaian mereka, asalkan tidak menampakkan perhiasannya yang membuat birahi pria (dadanya).sesuai dengan An-Nur ayat 60.
C.    As-Sunnah dan batasan Aurat Wanita
Ada dua kelompok dalam menyatakan tentang aurat. Kelompok pertama yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat misalnya hadis T-Tirmidzi “Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar rumah, setan tampil membelalat matanya dan bermaksud buruk terhadapnya”.
Adapun yang mengecualikan wajah dan telapak tangan, seperti yang diriwayatkan oleh “Aisyah ra, ketika putri Abu Bakar menemui Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah berpaling enggan melihatnya dan bersabda ”Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangan beliau).
D.    Pandangan Kontemporer
Salah satu cendekiawan terkenal di masa kontemporer adalah Qasim amin dari mesir, dengan bukunya yang berjudul pembebasan perempuan. Dalam pandangan Qasim Amin, tidak ada satu ketetapan agama yang mewajibkan pakaian khusus (hijab/jilbab) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Pakain yang dikenal itu menurutnya lahir akibat adat istiadat di mesir yang dianggap baik, kemudian ditiru dan dinilai sebagai tuntuna agama.
Secara garis besar, cendekiawan muslim terbagi 2 terkait pernyataannya tentang aurat. Kelompok pertama mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan, ataupun, kalau ada sangatlah lemah. Misalnya, pandangan Muhammad Syahrur yang menyatakan bahwa pakaian tertutup merupakan salah satu bentuk perbudakan dan lahir ketika lelaki menguasai dan memperbudak manusia. Hijab yang bersifat material (pakaian tertutup) atau yang bersifat immaterial telah menutupi keterlibatan perempuan dalam dalam kehidupan, politik, agama, dan akhlak.
Kelompok kedua mengemukakan pendapat mereka atas dasar kaidah kaidah yang diakui oleh ulama terdahulu, tetapi ketika sampai pada penerapanya dalam meahami pesan ayat atau hadis, mereka mendapat bantahan dari ulama terdahulu juga.
Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadis yang merupakan rujukan utama tidak bisa meyakinkan berbagai pihak karena dinilai lemah oleh kelompok yang berbeda. Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau hadis, tentu tidak aka nada perbedaan pendapat tentang pakaian wanita serta batasan-batasannya.