Minggu, 13 Juli 2014

Masyarakat Papua, Belum Begitu Membutuhkan Uang

Masyarakat Papua, Belum Begitu Membutuhkan Uang - Aneh memang, jika orang berkata seperti itu. Mana ada, orang tak butuh uang di dunia  ini. Namun, jika kita telisik lebih mendalam, masyarakat di pegunungan tengah ini (Jayawijaya, Mamberamo, Tolikara, Ninia, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Puncak, dan Kabupaten lain di Pegunungan Tengah) secara tidak langsung masih hidup dengan pola dahulu, walaupun secara kasat mata, mereka juga menggunakan uang dalam kehidupan sehari hari.
adheb's photo
Babi yang Sedang Menyusui
Dalam kehidupan sehari-hari, untuk makan misalnya, mereka masih mengandalkan kebun untuk mencukupi kebutuhan. Buah-buahan di sini juga melimpah, sebagai bahan makan mereka. Mereka mempunyai lahan yang cukup luas. Biasanya, mereka akan menanam ubi sebagai makanan utama mereka, dengan cara berpindah-pindah. Jika sebuah areal sudah ditanami ubi dan sudah dipanen, mereka akan menanami tempat lain, dan lahan tersebut mereka biarkan, kemudian pindah ke tempat lain lagi, sampai mereka kembali akan menanami lahan yang pernah mereka tanami. Maka jangan heran jika banyak lahan yang orang lain bilang, sebagai lahan terlantar.

Bagi mereka, lahan tersebut bukanlah terlantar, tetapi memang dibiarkan begitu saja, bahkan sampai rumput tumbuh tinggi. Tetapi, suatu ketika mereka akan mempergunakannya untuk menanam ubi atau sayuran lain untuk kebutuhan hidupnya. Sistem ladang berpindah seperti ini masih ada di sini hingga sekarang. Sampai saat ini, untuk menggali tanahpun mereka hampir semuanya menggunakan sekop, karena mereka dari dulu diajarkan menggali dengan alat tersebut. Mereka merasa aneh atau tidak terbiasa, bahkan ada yang mengatakan, merasa pegal jika harus menggali tanah dengan cangkul seperti orang Jawa pada umumnya.

Tidak hanya sebagai makanan manusia, karena ubi di sini juga untuk makanan peliharaan mereka di sini, babi. Sebagai alat tukar dari zaman dahulu, babi tetap saja digunakan warga sini seperti untuk mas kawin, alat sosial, yaitu sebagai sumbangan jika ada duka/ warga yang meninggal, untuk acara berbagai selamatan dengan bakar batu, maupun acara lainnya. itu adalah alat utama mereka, dengan harga jual yang tinggi di sini, sekitar 50-60 juta per ekor babi yang sudah besar.

Namun, di sini  pernah terjadi penyakit mematikan. Penyakit sejenis kolera, yang membuat babi mati secara tiba-tiba, sampai babi di sini tinggal sedikit, sehingga membuat harga babi melonjak sampai seperti sekarang ini. Karena persebaran babi yang sedikit ini, membuat warga sedikit beralih dalam kegiatannya, seperti menggunakan uang sebagai tambahan mas kawin jika babi kurang, ayam sebagai pelengkap bakar batu saat kekurangan babi, ataupun beras, minyak, uang dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan oleh warga saat duka sebagai pengganti babi. Begitu juga uang sebagai tambahan denda jika ada suatu permasalahan, dikalkulasikan dengan harga per ekor babi di sini.

Jika mereka membutuhkan uang, maka mereka akan menjual babi ataupun hasil kebun ke kota. Namun, jika belum butuh, maka mereka hanya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-harinya. Jika mereka ke kota, maka biasanya mereka yang membutuhkan uang, dan menjual barang mereka Untuk itu, kita bisa menawar dengan harga yang lebih murah karena merekalah yang membutuhkan uang, namun jika kita datang ke mereka, dan membeli babi misalnya, maka bisa saja akan diberi harga yang mahal, karena mereka menganggap kita yang butuh. Sedangkan mereka belum begitu membutuhkannya. Makanya, jika anda memerlukan sesuatu, sebaiknya beli saja di pasar, agar mendapatkan harga yang  wajar.

Jumat, 27 Juni 2014

Di Timur Matahari, Wamena Yang Sebenarnya

Di Timur Matahari - Sebuah film karya Ari Sihasale, yang cukup fenomenal bagi saya, karena memang betul-betul menggambarkan keadaan di daerah ini, karena saya sendiri mengalaminya dan berada di sini saat menulis ini. Gak tau kenapa, walaupun sudah mempunyai film ini sewaktu di Jogja, tetapi baru kali ini saya sempatkan untuk menontonnya. Di Wamena ini, malam terakhir sebelum kami meninggalkan Wamena, untuk menuju ke Jayapura, dan kembali ke Jogja. Pas sekali flm ini saya tonton, di hari terakhir saya berada di sini, setelah 40 hari keliling Kabupaten Jayawijaya ini.
adheb's foto
Kayo, ICON Kota Wamena
Wamena, sudah tidak asing lagi bagi saya, karena di tahun 2012 saya pernah di sini selama satu setengah bulan, berkeliling di beberapa kabupaten di sini seperti Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Mamberamo, dan Kabupaten Jayawijaya ini sendiri, khususnya di Kabupaten-Kabupaten yang berada di Pegunungan Tengah. Kemudian kembali lagi ke Pegunungan Tengah ini sehabis lebaran selama sebulan. Perjalanan selama tiga kali ini, bukan saya tinggal di kota, melainkan menuju ke daerah-daerah pedalaman, sehingga tahu bagaimana kehidupan orang pegunungan tengah ini.
Di pegunungan tengah ini, orang mengatakan, belum merasakan Papua, kalau kalian belum pernah ke Wamena. Jika kalian belum pernah ke Papua sama sekali, kata itu sama sekali tidak berpengaruh, karena kalian belum pernah melihat Papua secara langsung, tetapi, bagi saya itu adalah kata yang memang benar-benar asli. Itu adalah kata yang sebenarnya, dimana Papua terkenal dengan adat istiadatnya, dan yang masih ada sampai sekarang seperti di Pegunungan Tengah ini. Saya mengatakan ini, karena selama beberapa kali saya ke Papua seperti ke Keerom, Jayapura baik Kota maupun Kabupaten, Sorong, Raja Ampat, Mimika, Fak-Fak, dan Kabupaten Bintuni, yang merupakan daerah-daerah yang pernah saya kunjungi, tidak semenarik, tidak sekeras, dan tidak senatural daerah di Pegunungan Tengah ini.
Perjalanan saya ke Pegunungan Tengah ke tiga kali ini, saya tidak membawa cerita banyak, hanya sebuah catatan spontan kecil ini, sesaat setelah saya menonton film Karya Ari Sihasale ini, yang mengambil tempat di Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Sebuah tempat yang jaraknya sekitar 3 jam dari kota (jangan me gukur jarak di sini dengan kilometer seperti di Jawa, karena di sini akan lebih akurat jika kita mengukurnya dengan waktu, meliihat topografi di sini dengan kontur yang cukup rapat dalam bahasa geografi). Walaupun saya belum pernah ke Kabupaten tersebut, tetapi saya pernah melihatnya dari jauh, dari Distrik Piramid, saat saya berada di sana. Dari Piramid ini, perjalanan menuju ke Tiom masih sejam lagi. Semua akses ke Pegunungan Tengah berpusat di Wamena ini, sebagai satu-satunya jalur utama menuju ke setiap daerah, dan semua pasokan dari Jayapura, melalui udara.
Cukup dengan menonton film ini dan membaca catatan kecil saya, maka seperti itulah keadaan di sini. Yang perlu diteladani di sini intinya adalah kesatuan dan persatuan warga Papua, bahwa mereka sebenarnya satu, hidup damai dan saling mengasihi antar sesama, sesuai dengan mayoritas ajaran yang mereka anut di sini. Walaupun setiap hari masih ada kerusuhan, pencurian, kekerasan, denda, dan sebagainya, namun mari kita ambil hikmahnya, semangat untuk memperbaiki itu semualah yang harus kita pikirkan, seperti film ini salah satunya. Jika warga bisa menonton dengan ‘hati’, maka kekerasan dan perpecahan di sini akan semakin berkurang. Untuk itulah, perlu adanya gebrakan-gebrakan lain, ide-ide lain yang selalu bermunculan, agar keadaan di sini semakin berubah lebih baik, tanpa harus meninggalkan budaya yang sangat unik di sini. Ide seperti itulah yang sangat diperlukan, sebagai kontribusi kita sebagai bangsa Indonesia, dan keyakinan kita bahwa Papua adalah bagian dari kita, bagian dari Bangsa Indonesia. Karena bagaimanapun juga, walaupun ribuan pulau, tetapi kita tetap satu. INDONESIA RAYA.
Beberapa hal kecil yang menarik, tidak seperti di tempat lain adalah cara orang sini yang sering bergandengan tangan, tidak peduli sesama perempuan, laki-laki perempuan, dan yang paling sering saya jumpai sesama laki-laki yang saling bergandengan tangan. Bukan karena mereka homo, tetapi itulah bentuk kasih sayang mereka, bahwa mereka sangat sayang terhadap sesama, melebihi sayang kita terhadap sesama di daerah lain. Perhatikan juga cara salaman mereka, yang cukup unik, dan selalu berkata terima kasih atas setiap bantuan, dan masih banyak lagi lainnya.
Film ini cukup menariik bagi saya, walaupun kekerasan masih banyak terjadi, namun cukup menyentuh, membuat saya ingin kembali lagi ke tempat ini kelak., ataupun menjamah daerah tertinggi di atas sana, yang merupakan cita-cita saya suatu saat yang entah kapan bisa terwujud. Semoga bisa menginspirasi kalian yang membaca, agar juga memikirkan rakyat Indonesia yang ‘terpinggirkan’ ini, di sela panasnya persaingan pilpres saat ini. Sebagai intermezo berita persaingan saat ini, karena pada intinya adalah bagaimana supaya rakyat Indonesia ini semakin sejahtera.
Cinta dan kedamaian akan membawa kebahagiaan bagi anak kita kelak,,
We Love Papua. ITU SUDAHHH….      (aiiiiiiiiii)
Sedikit catatan di sini, Wamena, Jayawiya, Pegunungan Tengah Papua, 27/06/14

Minggu, 22 Juni 2014

Kurullu, The Beauty of Wamena

Kurullu, The Beauty of Wamena - Di sinilah ikon dari Wamena, atau dari Kabupaten Jayawijaya ini. Ada beberapa alasan mengapa disrik kurulu yang paling banyak dicari oleh para turis, baik domestik maupun mancanegara. Pertama, karena daerahnya yang dekat dengan kota. Dari kota, kita bisa menuju ke daerah ini tidak sampai satu jam. Baik naik mobil dobel gardan, naik angkot, bahkan naik kendaraan bermotor pun kita bisa menjangkaunya. Jika naik angkutan, dari Wamena kita menuju ke pasar Jibama atau orang biasa sebut Pasar Baru seharga 5 ribu. Lalu, dilanjutkan ke Kurulu, cukup membayar 10 ribu.
adheb's photo
Berfoto dengan Mumy Wim Motok
Untuk jurusan Kurulu, angkutan putih cukup banyak, tinggal kita cari saja di pojokan belakang, yang bertulis KL, kita akan sampai ke kurulu. Namun, jika naik mobil apa saja bisa juga, baik mobil arah Yalengga, Bolakme, Tolikara, Eragayam, Ninia, Mamberamo, ataupun Puncak. Yang ke dua, karena tempat di daerah ini sering diadakan festival, seperti Festival Lembah Baliem yang cukup terkenal, karena selalu rutin diadakan setiap tahun. Festival Lembah Baliem ini beberapa kali diadakan di kampung Wosi, sehingga kampung ini cukup terkenal bagi mereka yang pernah melihat festival ini.
adheb's photo
Kayo, Icon Wamena
Yang ke tiga, di daerah ini terdapat wisata mummy terkenal, yaitu Mumi Wim Motok Mabel, di Sompaima, Kampung Jiwika, Kurulu. Mumi ini cukup terkenal, karena merupakan salah satu mumi tertua di dunia, dan yang paling tekenal di daerah Lembah Baliem ini. Konon, menurut sang juru kunci, umurnya saat ini sudah 371 tahun. Berbeda dengan mumi di negara lain yang diawetkan dengan formalin, mumi Wim Motok ini diawetkan dengan cara diasap. Zaman dahulu, kepala suku yang merupakan keturunan suku Dani generasi ke tujuh tersebut sangat dihormati, dan ketika meninggal pada saat perang, warga mengabadikannya dengan mengasap, sebagai salah satu wasiatnya sebelum meninggal.

Di kampung ini kita bisa berfoto dengan mumi Wim Motok. Namun, biasanya akan dikenakan tarif 40 ribu per orang. jika sudah sama-sama deal, maka mumi akan dikeluarkan dari honai oleh penjaganya, dan kita bisa foto bersama mumi tersebut. di area ini, mereka juga memajang aneka barang khas pegunungan tengah sini untuk dijual seperti noken, koteka, kalung babi, kalung kasuari, kapak batu, perhiasan bulu kasuari, dan lainnya. Kita bisa membelinya dengan harga bervariasi, sesuai dengan hasil tawaran yang sudah disetujui.

Yang paling disukai oleh pemuda, di sini mereka menggunakan pakaian adat jika ada pengunjung datang. Yang laki-laki menggunakan koteka saja, untuk menutupi alat kelaminnya, sedangkan yang perempuan menggunakan daun rumbia. itulah yang paling disukai. Bagi para cewek, kalian bisa berfoto dengan laki-laki berkoteka, dan bagi para cowok, bisa berfoto ria dengan perempuan-perempuan bertelanjang dada. Namun, setiap foto yang diambil, mereka akan meminta uang. Umumnya sejumlah 10 ribu tiap warga yang diajak foto.

bagi saya, yang sudah tinggal beberapa hari di sini, ini adalah hal biasa, karena setiap hari pasti menjumpai orang pakai koteka. Namun, jika kalian belum pernah ke sini, pasti hal seperti ini sangat mengagumkan, karena kita serasa di negeri zaman dahulu, zaman purba. Yang jarang diketahui, adalah bahwa jika para pengunjung sudah pulang, maka mereka akan berpakaian seperti biasa, memakai baju lagi, walaupun masih ada yang memang sehari-harinya memakai koteka dalam sehari-hari.
adheb's photo
Orang Dengan Pakaian Khas Pegunungan Tengah
Yang terakhir, yang membuat daerah ini terkenal adalah si Denias yang pasti diketahui oleh para penggemar film. Dengan filmnya, “Negeri di Atas Awan”. Film tersebut juga diambil di kampung ini, di belakang area mumi. Wajar memang, karena panorama di sini memang begitu indah, dan menakjubkan bagi saya, dengan bukit-bukit yang sangat mempesona, dengan beberapa honai yang ada. Bagi kalian yang belum pernah, hal semacam ini sangat jarang kalian temui, di Papua sekalipun kecuali kalian ke Papua bagian Pegunungan Tengah ini, dengan puncaknya yang terkenal, Puncak Cartenz. Siapkan saja tabungan dari sekarang, karena wisata seperti ini bukanlah wisata yang murah. haha.... Selamat mencoba kawan...

Selasa, 10 Juni 2014

Ambulance Yang Tersandera

Ambulance Yang Tersandera - Ambulance, bagi kita yang sedang sakit dan harus ke rumah sakit, merupakan moda transportasi yang diperlukan, apalagi jika digunakan untuk pengantar pasien oleh puskesmas atau rumah sakit. Sewajarnya, jika puskesmas mempunyai alat transportasi tersebut untuk mobilisasi pasien. Namun, tidak begitu dengan Puskesmas Yalengga ini. Mobil ambulance yang sekiranya digunakan sebagai fasilitas pemerintah ini malah dibawa oleh kepala puskesmas. Payahnya, sudah 4 tahun kepala puskesmas tidak pernah datang ke sini. Otomatis, jika ada pasien yang memerlukan rujukan ke rumah sakit, harus menggunakan angkutan umum untuk menuju ke kota.
Mobil Ambulance
Padahal, pemerintah menganggarkan fasilitas tersebut untuk menunjang aktifitas puskesmas, agar pelayanannya bisa maksimal. Jika tidak ada pasien, mungkin mobil tersebut bisa digunakan untuk antar jemput petugas puskesmas yang semuanya tinggal di kota, walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan. Seperti di Puskesmas Hubikoshi misalnya, yang selalu menggunakan mobil ambulance untuk antar-jemput petugas. Hal seperti itu sebenarnya bisa memaksimalkan tingkat kehadiran petugas puskesmas. Bayangkan, jika setiap hari petugas puskesmas berangkat dari kota sejauh 40 kilo meter, dan mengeluarkan biaya 30 ribu sekali jalan. angkutan menuju ke puskesmas pun tidak selalu lancar. Jadi, jika mereka tidak masuk ataupun telat tiba di puskesmas, adalah hal yang wajar bagi mereka. Belum lagi adanya pemalakan di tengah jalan, warga yang mencegat mobil dan meminta uang. Hal seperti inilah yang paling tidak disukai petugas.
Namun jika ada mobil untuk antar jemput, maka mereka tidak usah bingung mencegat angkutan setiap hari, cukup mobil tersebut yang akan menjemput petugas, dan petugas bisa datang tepat waktu. Sehingga, pasien yang akan berobat ke puskesmas tidak selalu harus menunggu di depan puskesmas, sampai petugas puskesmas datang dan memberikan pelayanan. Di saat sekarang ini, hal seperti ini yang paling dibutuhkan oleh petugas, mengingat mereka juga masih takut akan keamanan di daerah, jika mereka harus tinggal di area puskesmas. Belum lagi fasilitas yang minim seperti air, listrik yang belum tentu ada.

Jumat, 23 Mei 2014

Kemuliaan Seorang Bidan Yang Terganjal Oleh Aturan

Kemuliaan Seorang Bidan Yang Terganjal Oleh Aturan - Terik matahari sudah mulai menyengat, aktivitas warga sudah mulai terlihat sejak tadi pagi. Maklum, jam sudah menunjukkan pukul 9 Waktu Papua. Biasanya, Hari Jumat seperti ini umumnya digunakan untuk agenda kebersihan, karena biasanya warga sudah tidak asing dengan istilah jumat bersih. Di pintu gerbang masuk area Puskesmas sana, Bapak Willem Tabuni, Kepala Puskesmas Asologaima sudah mulai sibuk bersama beberapa warga membersihkan jalan, karena Jum’at depan akan ada banyak pejabat yang datang, baik dari Dinas Kesehatan maupun dari Pemerintah Kabupaten setempat. Akan ada hajatan besar disini, yaitu dengan diresmikannya bangunan baru yang terletak persis di sebelah bangunan yang ada sekarang.
adheb's doc
Pasien sedang menunggu di teras Puskesmas
Seminggu lagi bangunan tersebut resmi dijadikan sebagai puskesmas rawat jalan, sementara puskesmas yang dipakai sekarang akan menjadi rawat inap. Bersamaan dengan itu pula, maka 2 bangunan rumah baru di belakang puskesmas yang telah dibangun selama 4 bulan ini juga secara resmi bisa ditempati oleh dokter, sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh datang dari kota Wamena setiap hari. Dengan menetapnya dokter di puskesmas ini, otomatis Puskesmas Asologaima, yang merupakan puskesmas rawat inap ini bisa langsung menangani pasien kapan saja. Ke depan, bangunan-bangunan couple di sekitar puskesmas ini juga akan direhab, agar lebih banyak petugas puskesmas yang tinggal, dan bisa standby 24 jam.

Pagi itu saya duduk sendirian di puskesmas ini sambil mendengarkan musik. Setengah jam sudah saya berada di sini, menunggu petugas puskesmas, namun belum ada satupun petugas yang terlihat. tak berapa lama, datang ibu-ibu membawa anaknya untuk berobat. Ada 3 orang ibu-ibu yang membawa seorang anaknya. Namun ada seorang ibu yang juga membawa segepok noken di kepalanya. sambil menunggu petugas puskesmas, saya berbincang-bincang dengan ibu tersebut terkait noken, barang yang multifungsi bagi warga sini. saat iseng-iseng mengamati, ternyata di dalam noken yang dipanggulnya ada bayi mungil yang baru berusia beberapa bulan. Jika hanya sekilas saja, maka kita tidak akan tahu jika di dalam noken tersebut ada seorang bayi, karena bayi di dalam noken di sini jarang menangis. Di sela-sela kami mengobrol, ada juga 2-3 orang warga yang mau berobat, dan langsung pergi lagi, setelah tahu kalau puskesmas belum buka.

Lama kami mengobrol, hingga jam 10 baru ada seorang petugas yang datang menyalami kami, dan sekaligus membuka pintu puskesmas agar kami bisa masuk. dia adalah Mama Regina, bidan di puskesmas ini yang tinggal di salah satu rumah dinas puskesmas, terletak sekitar 20 meter di depan puskesmas ini. Setelah membuka pintu-pintu ruangan, ibu bidan datang ke kami, dan menyampaikan maaf terlebih dahulu. Aduh, maaf sekali ibu, petugas loket belum juga datang jadi,, saya belum bisa melayani ibu-ibu. Kemudian ibu bidan bercengkerama dengan kami, sesekali bercanda dengan anak kecil yang sedang bermain berlarian kesana-kemari.

30 menit sudah berlalu, ibu bidan mulai gelisah. Akhirnya, dia pulang ke rumah, ambil hp dan mencari tempat sinyal dan menelpon petugas loket yang bertugas hari ini. Petugas loket tersebut tinggal di Wamena. Biasanya jam 10 sudah tiba. Setelah tidak ada jawaban, beliau kembali datang ke kami, dan meminta kami menunggu. “Tunggu sebentar e… 30 menit lagi, siapa tau dorang datang”, sambil meminta maaf kepada kami. 30 menit berikutnya juga sudah berlalu, akhirnya dengan menyerah beliau meminta maaf kepada kami, dan meminta agar besok Senin kembali datang ke puskesmas. Maklum, di papan pengumuman, puskesmas buka sampai hari Jumat saja, dari pukul 08-12 wpb.

Sangat disayangkan, ketulusan hati seorang bidan, yang telah membaktikan dirinya 17 lebih ini tidak bisa melayani pasien puskesmas di saat jam pelayanan. Jika prosedur berobat tersebut, yang harus melalui berbagai tahapan dipangkas, maka akan ada berapa banyak pasien yang bisa tertolong setiap tahunnya, tanpa harus berbelit-belit mulai dari daftar sampai pasien mendapatkan obat. Semoga kemuliaanmu untuk mengabdikan diri di daerah terpencil takkan pudar, walau banyak masalah menantimu.

Senin, 10 Maret 2014

BSM (Bantuan Siswa Miskin)

Bantuan Siswa Miskin (BSM) - BSM (Bantuan Siswa Miskin) mulai dikenalkan oleh pemerintah sejak tahun 2008 untuk membantu siswa miskin agar dapat mengakses pendidikan ke jenjang yang tinggi. Minimal sesuai dengan program pemerintah, wajib belajar 9 tahun, yaitu sampai tingkat SMP atau sederajat. Seiring meningkatnya alokasi anggaran untuk pendidikan, yaitu sebanyak 20% dari APBN, maka kuota penerima manfaat BSM pun ikut meningkat dengan harapan, siswa di Indonesia bisa sekolah sampai jenjang SMA (12 Tahun Wajib Belajar). Kuota penerima BSM tahun ajaran 2012-2013 dan 2013-2014 ini menargetkan penerima BSM potensial sebanyak 1.260.400 siswa, dengan alokasi :

Kamis, 02 Januari 2014

Singgah ke Kampung RKI (Rumah Kayu Indonesia)


Singgah ke Kampung RKI (Rumah Kayu Indonesia) - Semilir angin sore serasa menembus tulang-tulang punggung, setelah baru saja mengangkut logistik untuk persiapan perjalanan sebulan ke depan. Lumayan banyak, dan yang pasti melelahkan. Setelah sebelumnya melakukan perjalanan dari Babo, langsung angkut2 barang untuk dinaikkan ke jeti dari ketinting yang kami tumpangi. Ketinting penuh dengan barang yang kami bawa, walau jumlah personil kami hanya 9 orang. Haha, jangan dilihat dari personilnya, tetapi itu adalah logistik kami selama sebulan lebih ke depan, ditambah kertas-kertas kuesioner pendataan yang lumayan banyak.
adheb's foto
Sore di Jety RKI
Jika melihat ke sebelah utara, terpampang laut dan pulau di depan yang cukup indah, di sebelah timur terpampang langit berwarna merah kebiruan, dengan awan yang bergerombol dan khas gerombolan awan disini berbaur dengan kilatan cahaya yang mirip seperti petir saat hujan di jawa, jarang terlihat jika kita memandang gerombolan awan di jogja. Maklum di sini tidak ada musim seperti di Jawa, yang ada musim penghujan atau kemarau. Di sini musim serba tidak jelas. Kadang terang, dan suatu ketika juga bisa terjadi hujan.

Melongok ke sebelah timur, ada pabrik udang, menjulang tinggi tanpa ada saingannya di sekitar situ. Di sebelah kiri saya, terlihat banyak kapal-kapal sedang bersandar, satu dua orang menjalankan long boot untuk menuju daerah lain. Dan di belakang, tentunya terlihat rumah-rumah warga yang sangat khas, karena semuanya terbuat dari kayu.
adheb's foto
Kondisi Jalan di RKI
Ya, disinilah aku berada saat ini. Jeti di kampung Sidomakmur, Distrik Wimro, Kabupaten Teluk Bintuni. Namun, orang menyebutnnya dengan Kampung RKI atau Rumah Kayu Indonesia. Gak tau kenapa dinamakan seperti ini. Tetapi yang jelas di sini semua bangunan hanya menggunakan bahan dari kayu. Begitu juga dengan jalan-jalan di sini. Semuanya beralaskan kayu di atas air dan di atas tanah. Jangan pikir ini di Papua, terus orangnya hitam keriting. Di RKI ini, mayoritasnya adalah para pendatang, baik dari Sulawesi, NTB, Kalimantan, Bima, Maluku, dan yang paling banyak adalah dari Jawa. Lebih dari setengah penduduk berasal dari Jawa, baik Sunda, Gresik, Tuban, Surabaya, Brebes, Banyuwangi, dan Probolinggo yang paling banyak. Makanya, jika kalian berbahasa jawa di sini, maka pastinya banyak yang tahu. 

Di sini, warganya banyak yang mencari udang, karena di sini adalah wilayah udang. Surga udang ada di daerah seputaran sini. Suatu ketika ada yang bercanda di sini, saat saya datang. Mas, di sini semua bisa, semua ada, namun cuman satu yang tidak. Di sini air yang susah. Memang, di sini warga mengandalkan dari air hujan. Namun, untuk makanan dan jajanan sehari hari, di sini malah lebih murah daripada di Babo. Tak tahu kenapa, tapi mungkin karena penduduknya banyak yang dari Jawa, singgah mereka tidak mengambil margin cukup banyak dala berjualan, tidak seperti orang-orang Papua biasanya. Tiba di sini, saya beli  es dawet, harganya hanya 3 ribu rupiah, begitu pula saat beli pop ice.

Air di sini cukup berharga, di saat tidak ada air hujan, mereka membeli air kolam, untuk dimasukkan ke drum drum simpanan mereka. mereka membayar jasa per drum sekitar 10 ribu rupiah. Jika di rumah hanya terdapat 2 atau 3 drum, maka mereka bisa mengisi 2 sampai tiga kali isi seminggu. Dikalikan saja jika setiap isi satu drum seharga sepuluh ribu. Namun tetap saja air dari kolam tersebut, yang asalnya juga dari air hujan hanya sebatas digunakan untuk mandi dan mencuci, karena airnya keruh, sedangkan untuk minum sehari-hari tetap saja mereka menyisihkan dari air hujan.
adheb's foto
Kolam Penampungan Air
Sebenarnya, di sini nama kampungnya adalah Sido Makmur. Zaman dahulu bernama Wimro, lalu sekitar tahun 1991 menjadi Trans Wimro, karena banyak pendatang yang berasal dari daerah lain, khususnya dari Jawa yang pindah ke sini. Para transmigran tersebut sekarang rata rata sudah mempunyai sertifikat tanah dan juga ladangnya. Bahkan sekarang tanah ataupun rumah mereka banyak yang disewakan untuk sesama pendatang yang datang belakanan. Karena hanya mereka yang ikut program ransmigrasi saja yang dapat tanah dari pemerintah. Namun, sampai sekarang tidak ada pajak PBB seperti tanah di Jawa pada umumnya

Hingga sekitar tahun 1993, mereka menamakan desa ini Sido Makmur, dengan harapan, warga di sini selalu makmur dan lebih sejahtera di masa yang akan datang. Namun, penamaan ini hanya sebatas secara kultural saja, dan hanya diakui secara de jure oleh masyarakat di Bintuni sini. Sekitar tahun 2010, Desa Sidomakmur secara resmi berdiri, dan diakui sampai Provinsi Papua Barat, mekar dari Wimro yang mempunyai wilayah di sebelah timur. Tidak tahu kenapa, di pusat nama Sido Makmur belum ada, hanya tercatat nama Wimro saja. Orang-orang di sini biasa berkata bahwa desa adanya desa ini hanya Tuhan lah yang mengetahui. Padahal, wilayah desa ini luasnya 10 ribu hektar, dengan sekitar 720 lebih warga yang mendiaminya.