Kamis, 06 Desember 2018

Hidup Berdampingan, Berdamai Dengan OPM

Hidup Berdampingan, Berdamai Dengan OPM - Membaca postingan berita di media online hari ini, beberapa masih membahas seputar tewasnya para pekerja yang sedang membangun jalan trans di Papua sana, dan masih saja berlanjut dari beberapa hari yang lalu semenjak kejadian itu terjadi. Dengan jumlah korban meninggal yang cukup banyak dibanding kejadian serupa di tahun-tahun sebelumnya, wajar jika berita ini cukup ramai beberapa hari ini. Pemerintah mempublish sebagai bentuk bela sungkawa dan semangat patriotisme untuk menegakkan NKRI atau membumihanguskan terorisme di negeri ini. Sementara di kubu sana, OPM mempublish sebagai suatu bentuk luapan kegembiraan, bisa membasmi terorisme, atau meminimalisisr kolonialisme Indonesia yang selama ini ada.

Lantas, mana yang benar? Disini, saya akan sedikit mengulik yang saya tahu tentang OPM, dari pengalaman saya saat berada di Papua tahun 2012 lalu. Sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah mengganti sebutan OPM dengan KSB atau KKSB. Kata/bahasa OPM terlalu berbahaya, terlalu melawan pemerintah, karena berkonotasi dengan separatis. Gantilah dengan KKSB, untuk mereduksi makna, agar terlihat sebagai segelintir orang, dan bukan banyak orang yang ingin menduduki Papua sering berbuat onar melawan tentara kita. 

Di saat telinga kita yang mulai lunak dengan bahasa KSB karena pemberitaan yang massif ini, sebenarnya mereka lebih suka disebut dengan OPM. Apakah semua OPM itu tentara bersenjata? Saya masih mengilustrasikan hal yang hampir sama dengan PKI pada masa lalu. Ada masyarakat yang berjuang dengan memanggul senjata, namun ada pula simpatisan yang secara tertutup mendukung perjuangannya. Terlihat abu-abu karena takut diketahui oleh kubu sebelah, entah warga atau pihak pemerintah. Sangat susah untuk melihat simpatisan ini, bahkan seringkali tetangga honai sendiri tidak tahu apakah rumah sebelah itu simpatian OPM atau pro pemerintah, jika tidak berhubungan dekat dengannya.

Bagi yang menenteng senjata, mereka menamakan diri sebagai TPNPB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang berjuang sejati merebut kemerdekaan West Papua. Nama ini secara resmi mereka gunakan, dan mempunyai kepengurusan di setiap tempat yang terdapat pendukungnya di Papua ini. Mempunyai ghirroh yang sama dengan pejuang lain, menjadi satu wadah, KNPB. Sasaran utamanya bukanlah masyarakat sipil. Mereka hanyalah menyasar tentara atau polisi, karena sama-sama bertugas memegang senjata. Selain itu fasilitas pemerintahan juga menjadi sasaran mereka, sehingga cukup aman bagi kita sebagai masyarakat sipil ketika berada di sana. Kecuali ada kejadian tertentu yang dianggap membahayakan mereka. Hal seperti ini sebenarnya sudah tertuang di dalam undang-undang yang ada, tapi saya lupa pasal berapa.. hehe..

Trus kenapa kemarin banyak sipil yang meninggal? Ada beberapa masalah menurut saya. Pertama Saat saya di sana, saya selalu waspada setiap tanggal 1 di bulan Juli dan Desember, karena itu merupakan hari proklamasi dan kemerdekaan Papua Merdeka. Di tanggal itu mereka akan selalu memperingati layaknya kita setiap tanggal 17 Agustus, baik upacara ecara tertutup ataupun terang-terangan. Makanya, seringkali terjadi peristiwa bentrokan ketika mereka memproklamirkan secara terang-terangan, bahkan pembunuhan ketika upacara mereka yang sembunyi-sembunyi merasa diusik  atau diganggu. Seperti kejadian kemarin misalnya, dari pemberitaan menyebutkan bahwa pekerja sedang melihat, bahkan memfoto kegiatan mereka ketika itu. Hal ini sangatlah mengusik kekhusukan kegiatan mereka, karena sesuatu acara yang dianggap sakral. Saya selalu takut dan harus selalu waspada apabila harus berkegiatan di bulan-bulan tersebut di sana, karena selalu saja ada kejadian yang terjadi, walaupun lokasinya berbeda-beda.

Kedua OPM menganggap bahwa mereka itu bukanlah warga sipil, melainkan tentara zipur yang menyamar sebagai pekerja, entah tujuannya untuk sekedar mengintai atau supaya pembangunan jalan trans tersebut dirasa aman, di tengah wilayah Papua yang cukup berbahaya. Wajar saja, mereka bangga dengan kejadian kemarin dan dengan lantang mengakui aksi tersebut. Seringkali, aksi pembunuhan yang terjadi seperti di wilayah Puncak berhubungan dengan aparat baik polisi atau tentara, karena itu adalah target mereka. Saya sendiri memilih untuk menghindar jika ada tentara atau polisi di mobil yang sama ketika menuju daerah yang jauh saat di Wamena. Mending bersama warga lokal jika akan ke Mamberamo atau ke arah Tolikara yang juga pernah ramai pembakaran beberapa waktu lalu.

Ketiga, ternyata OPM tidak suka dengan adanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di wilayahnya. Walaupun akan semakin membuka akses distribusi, tetapi itu hanya menguntungkan warga Indonesia. Mereka akan semakin terdesak dengan bertambah ramai dan mudahnya akses ini, sehingga ruang gerak menjadi semakin sempit. Itu mungkin juga sebagai jawaban, mengapa beberapa bulan lalu beberapa pekerja proyek (hanya warga sipil) tewas terbunuh saat mengerjakan pembangunan jalan trans ini, tanpa adanya baku tembak dengan aparat.

Masalah komunikasi, tentara masih kalah taktis dengan OPM (walaupun belum tentu kalah secara teknologi). Mereka lebih hafal medan sendiri, bagaiaman cara berkomunikasi dengan luar, dan bagaimana menjalin jaringan dengan anggota lain untuk mengabarkan berita kepada pendukungnya secara cepat. Terbukti, sampai sekarang gerak-gerik mereka masih susah untuk ditembus oleh aparat, dan hanya saat ada kejadian saja tentara bergerak aktif melibas mereka, itupun hanya di titik kejadian, bukan meluas ke akar rumput yang lain. 

Sampai sekarang saya masih percaya jika sinyal masih sangat susah di sebagian besar pegunungan tengah ini. Informasi lewat mulut masih menjadi salah satu andalan mereka, disamping komunikasi melalui SSB sebagai andalan utama. Saya tidak tahu, apakah militer hanya mengandalkan telpun satelit untuk berkomunikasi di rerimbunan hutan? Atau punya alat lain yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, saya yang awam ini juga tidak tau. Masih teringat jelas di pikiran saya, ketika Mako Tabuni, seorang wakil ketua KNPB yang meninggal di Jayapura tahun 2012 lalu saat operasi militer. Ketika itu saya sedang berada di Korupun, sebuah distrik di pelosok Kabupaten Yahukimo yang harus ditempuh selama seminggu jalan kaki dari Wamena, walaupun hanya satu jam saja jika menggunakan pesawat carter. Hanya dua hari berselang dari kematiannya beritanya sudah sampai di semua pendukungnya di tempat itu. Padahal hanya radio SSB-lah alat komunikasi satu-satunya yang ada di situ. Dan saya masih bingung tidak percaya bagaimana mereka berkomunikasi, karena SSB sendiri hanya berhubungan dengan bandara Wamena hany untuk urusan penerbangan. Itu  yang saya tahu. Itulah mengapa, jika ada yang bertanya kejadian kemarin, kenapa pemberitaannya telat sekali? kejadian dua hari yag lau baru diberitakan sekarang..

Mayoritas OPM mendiami wilayah pegunungan tengah Papua yang sangat luas dengan hutannya yang sangat lebat ini, membuat mereka sangat leluasa untuk menjalankan kegiatannya. Ini adalah daerah mereka sendiri, sehingga sangat mudah dan hafal untuk bergerak atau berpindah-pindah dan bersembunyi di tengah hutan. Beberapa orang yang berpengaruh turun ke bawah di Jayapura baik untuk belajar, mencari dukungan, atau menginformasikan eksistensi mereka ke netizen di luar. Tetapi beberapa melarikan diri ke negara lain yang aman bagi kehidupan mereka seperti Belanda, Inggris, atau Australi jika sudah merapa terpojok akibat intaian dan sorotan yang terus menerus oleh tentara Indonesia. Belanda merupakan salah satu negara yang relatif aman untuk bersembunyi sekaligus mencari dukungan demi bebasnya Papua Barat. Bahkan mereka akan membuka kantor perwakilannya di sana seperti yang diberitakan beberapa bulan lalu.

Terakhir, saya ingin sedikit bercerita, bahwa saya pernah hidup berdampingan dan ‘berdamai’ dengan mereka ketika saya melakukan kegiatan di daerah Yogosem, kampung kecil di ketinggian hampir 3.000 mdpl selama beberapa minggu. Saya tahu di daerah tersebut banyak pendukung OPM baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kepala suku memberitahukan kepada kami mana warga yang mendukung dan mana yang tidak, walaupun saya tidak bisa mengamati satu per satu karena mukanya hampir semuanya sama. Ada salah satu warga yang terang-terangan, dan mengusir kami untuk segera angkat kaki dari tempat itu. Dia datang di pagi hari secara sembunyi-sembunyi agar pengusirannya tidak diketahui oleh warga lain yang menjaga kami. 

Waktu itu, saya sendiri tidak begitu peduli apakah dia pro atau kontra, selama dia bisa bersahabat, demi keamanan kami saat kegiatan tersebut. Dari informasi, beberapa warga dekat rumah ada simpatisannya, dan saya tetap saja bercengerama, bersahabat dengan mereka selama hal itu baik, tanpa mengusik preferensinya atau preferensi saya. Asal saya tidak mengangu mereka, dan mereka tidak menganggu saya, itu sudah cukup tanpa harus mempermasalahkan hal lain yang tidak substantif.
Namun beda jika urusannya masalah NEGARA.


Ini hanya cerita dari pengalaman, bukan dari penelitian yang mendalam.. so,sak karepmu, piye persepsimu