Kamis, 06 Desember 2018

Hidup Berdampingan, Berdamai Dengan OPM

Hidup Berdampingan, Berdamai Dengan OPM - Membaca postingan berita di media online hari ini, beberapa masih membahas seputar tewasnya para pekerja yang sedang membangun jalan trans di Papua sana, dan masih saja berlanjut dari beberapa hari yang lalu semenjak kejadian itu terjadi. Dengan jumlah korban meninggal yang cukup banyak dibanding kejadian serupa di tahun-tahun sebelumnya, wajar jika berita ini cukup ramai beberapa hari ini. Pemerintah mempublish sebagai bentuk bela sungkawa dan semangat patriotisme untuk menegakkan NKRI atau membumihanguskan terorisme di negeri ini. Sementara di kubu sana, OPM mempublish sebagai suatu bentuk luapan kegembiraan, bisa membasmi terorisme, atau meminimalisisr kolonialisme Indonesia yang selama ini ada.

Lantas, mana yang benar? Disini, saya akan sedikit mengulik yang saya tahu tentang OPM, dari pengalaman saya saat berada di Papua tahun 2012 lalu. Sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah mengganti sebutan OPM dengan KSB atau KKSB. Kata/bahasa OPM terlalu berbahaya, terlalu melawan pemerintah, karena berkonotasi dengan separatis. Gantilah dengan KKSB, untuk mereduksi makna, agar terlihat sebagai segelintir orang, dan bukan banyak orang yang ingin menduduki Papua sering berbuat onar melawan tentara kita. 

Di saat telinga kita yang mulai lunak dengan bahasa KSB karena pemberitaan yang massif ini, sebenarnya mereka lebih suka disebut dengan OPM. Apakah semua OPM itu tentara bersenjata? Saya masih mengilustrasikan hal yang hampir sama dengan PKI pada masa lalu. Ada masyarakat yang berjuang dengan memanggul senjata, namun ada pula simpatisan yang secara tertutup mendukung perjuangannya. Terlihat abu-abu karena takut diketahui oleh kubu sebelah, entah warga atau pihak pemerintah. Sangat susah untuk melihat simpatisan ini, bahkan seringkali tetangga honai sendiri tidak tahu apakah rumah sebelah itu simpatian OPM atau pro pemerintah, jika tidak berhubungan dekat dengannya.

Bagi yang menenteng senjata, mereka menamakan diri sebagai TPNPB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang berjuang sejati merebut kemerdekaan West Papua. Nama ini secara resmi mereka gunakan, dan mempunyai kepengurusan di setiap tempat yang terdapat pendukungnya di Papua ini. Mempunyai ghirroh yang sama dengan pejuang lain, menjadi satu wadah, KNPB. Sasaran utamanya bukanlah masyarakat sipil. Mereka hanyalah menyasar tentara atau polisi, karena sama-sama bertugas memegang senjata. Selain itu fasilitas pemerintahan juga menjadi sasaran mereka, sehingga cukup aman bagi kita sebagai masyarakat sipil ketika berada di sana. Kecuali ada kejadian tertentu yang dianggap membahayakan mereka. Hal seperti ini sebenarnya sudah tertuang di dalam undang-undang yang ada, tapi saya lupa pasal berapa.. hehe..

Trus kenapa kemarin banyak sipil yang meninggal? Ada beberapa masalah menurut saya. Pertama Saat saya di sana, saya selalu waspada setiap tanggal 1 di bulan Juli dan Desember, karena itu merupakan hari proklamasi dan kemerdekaan Papua Merdeka. Di tanggal itu mereka akan selalu memperingati layaknya kita setiap tanggal 17 Agustus, baik upacara ecara tertutup ataupun terang-terangan. Makanya, seringkali terjadi peristiwa bentrokan ketika mereka memproklamirkan secara terang-terangan, bahkan pembunuhan ketika upacara mereka yang sembunyi-sembunyi merasa diusik  atau diganggu. Seperti kejadian kemarin misalnya, dari pemberitaan menyebutkan bahwa pekerja sedang melihat, bahkan memfoto kegiatan mereka ketika itu. Hal ini sangatlah mengusik kekhusukan kegiatan mereka, karena sesuatu acara yang dianggap sakral. Saya selalu takut dan harus selalu waspada apabila harus berkegiatan di bulan-bulan tersebut di sana, karena selalu saja ada kejadian yang terjadi, walaupun lokasinya berbeda-beda.

Kedua OPM menganggap bahwa mereka itu bukanlah warga sipil, melainkan tentara zipur yang menyamar sebagai pekerja, entah tujuannya untuk sekedar mengintai atau supaya pembangunan jalan trans tersebut dirasa aman, di tengah wilayah Papua yang cukup berbahaya. Wajar saja, mereka bangga dengan kejadian kemarin dan dengan lantang mengakui aksi tersebut. Seringkali, aksi pembunuhan yang terjadi seperti di wilayah Puncak berhubungan dengan aparat baik polisi atau tentara, karena itu adalah target mereka. Saya sendiri memilih untuk menghindar jika ada tentara atau polisi di mobil yang sama ketika menuju daerah yang jauh saat di Wamena. Mending bersama warga lokal jika akan ke Mamberamo atau ke arah Tolikara yang juga pernah ramai pembakaran beberapa waktu lalu.

Ketiga, ternyata OPM tidak suka dengan adanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di wilayahnya. Walaupun akan semakin membuka akses distribusi, tetapi itu hanya menguntungkan warga Indonesia. Mereka akan semakin terdesak dengan bertambah ramai dan mudahnya akses ini, sehingga ruang gerak menjadi semakin sempit. Itu mungkin juga sebagai jawaban, mengapa beberapa bulan lalu beberapa pekerja proyek (hanya warga sipil) tewas terbunuh saat mengerjakan pembangunan jalan trans ini, tanpa adanya baku tembak dengan aparat.

Masalah komunikasi, tentara masih kalah taktis dengan OPM (walaupun belum tentu kalah secara teknologi). Mereka lebih hafal medan sendiri, bagaiaman cara berkomunikasi dengan luar, dan bagaimana menjalin jaringan dengan anggota lain untuk mengabarkan berita kepada pendukungnya secara cepat. Terbukti, sampai sekarang gerak-gerik mereka masih susah untuk ditembus oleh aparat, dan hanya saat ada kejadian saja tentara bergerak aktif melibas mereka, itupun hanya di titik kejadian, bukan meluas ke akar rumput yang lain. 

Sampai sekarang saya masih percaya jika sinyal masih sangat susah di sebagian besar pegunungan tengah ini. Informasi lewat mulut masih menjadi salah satu andalan mereka, disamping komunikasi melalui SSB sebagai andalan utama. Saya tidak tahu, apakah militer hanya mengandalkan telpun satelit untuk berkomunikasi di rerimbunan hutan? Atau punya alat lain yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, saya yang awam ini juga tidak tau. Masih teringat jelas di pikiran saya, ketika Mako Tabuni, seorang wakil ketua KNPB yang meninggal di Jayapura tahun 2012 lalu saat operasi militer. Ketika itu saya sedang berada di Korupun, sebuah distrik di pelosok Kabupaten Yahukimo yang harus ditempuh selama seminggu jalan kaki dari Wamena, walaupun hanya satu jam saja jika menggunakan pesawat carter. Hanya dua hari berselang dari kematiannya beritanya sudah sampai di semua pendukungnya di tempat itu. Padahal hanya radio SSB-lah alat komunikasi satu-satunya yang ada di situ. Dan saya masih bingung tidak percaya bagaimana mereka berkomunikasi, karena SSB sendiri hanya berhubungan dengan bandara Wamena hany untuk urusan penerbangan. Itu  yang saya tahu. Itulah mengapa, jika ada yang bertanya kejadian kemarin, kenapa pemberitaannya telat sekali? kejadian dua hari yag lau baru diberitakan sekarang..

Mayoritas OPM mendiami wilayah pegunungan tengah Papua yang sangat luas dengan hutannya yang sangat lebat ini, membuat mereka sangat leluasa untuk menjalankan kegiatannya. Ini adalah daerah mereka sendiri, sehingga sangat mudah dan hafal untuk bergerak atau berpindah-pindah dan bersembunyi di tengah hutan. Beberapa orang yang berpengaruh turun ke bawah di Jayapura baik untuk belajar, mencari dukungan, atau menginformasikan eksistensi mereka ke netizen di luar. Tetapi beberapa melarikan diri ke negara lain yang aman bagi kehidupan mereka seperti Belanda, Inggris, atau Australi jika sudah merapa terpojok akibat intaian dan sorotan yang terus menerus oleh tentara Indonesia. Belanda merupakan salah satu negara yang relatif aman untuk bersembunyi sekaligus mencari dukungan demi bebasnya Papua Barat. Bahkan mereka akan membuka kantor perwakilannya di sana seperti yang diberitakan beberapa bulan lalu.

Terakhir, saya ingin sedikit bercerita, bahwa saya pernah hidup berdampingan dan ‘berdamai’ dengan mereka ketika saya melakukan kegiatan di daerah Yogosem, kampung kecil di ketinggian hampir 3.000 mdpl selama beberapa minggu. Saya tahu di daerah tersebut banyak pendukung OPM baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kepala suku memberitahukan kepada kami mana warga yang mendukung dan mana yang tidak, walaupun saya tidak bisa mengamati satu per satu karena mukanya hampir semuanya sama. Ada salah satu warga yang terang-terangan, dan mengusir kami untuk segera angkat kaki dari tempat itu. Dia datang di pagi hari secara sembunyi-sembunyi agar pengusirannya tidak diketahui oleh warga lain yang menjaga kami. 

Waktu itu, saya sendiri tidak begitu peduli apakah dia pro atau kontra, selama dia bisa bersahabat, demi keamanan kami saat kegiatan tersebut. Dari informasi, beberapa warga dekat rumah ada simpatisannya, dan saya tetap saja bercengerama, bersahabat dengan mereka selama hal itu baik, tanpa mengusik preferensinya atau preferensi saya. Asal saya tidak mengangu mereka, dan mereka tidak menganggu saya, itu sudah cukup tanpa harus mempermasalahkan hal lain yang tidak substantif.
Namun beda jika urusannya masalah NEGARA.


Ini hanya cerita dari pengalaman, bukan dari penelitian yang mendalam.. so,sak karepmu, piye persepsimu






Jumat, 28 September 2018

Tuhan dalam Secangkir Kopi 'sebuah resensi'

Tuhan dalam Secangkir Kopi - Membaca buku karanga Denny Siregar ini akan membawa pikiran kita ke kehidupan yang selalu dirasakan oleh kebanyakan orang, dimana di dalam suatu kehidupan tidak selamanya kita akan berada di atas. Roda terus berputar, kadang kita akan berada di atas, bahkan mengawang-awang, akan tetapi suatu saat kita juga akan mengalami sebuah keterpurukan, akan jatuh kebawah bagaikan gerakan roda itu yang kadang di atas, kadang di bawah.
Seperti kata dia, disaat manusia serba berkecukupan kita akan semakin mengejar duniawi, sehingga aspek ukhrowi terkikis sedikit demi sedikit. Di saat itu, kebutuhan kita akan terus dan semakin bertambah tanpa merasa cukup. Kita serba membutuhkan sesuatu yang sebenarnya hanya sebagai pelengkap keinginan kita. Tetapi di saat kita terpuruk, baru kita ingat dan menyadari akan adanya Tuhan dan berdamai dengan keadaan. Maka dari sinilah kita mulai bangkit dari keterpurukan. Di saat proses kebangkitan inilah kita akan mulai mersakan secercah cahaya, butiran-butiran mutiara harapan setelah kita bisa bersyukur dengan segala keadaan yang menyatu dengan kita, di dalam segala kemungkinan hidup.

Namun, hal yang paling susah adalah mempertahankan rasa syukur itu ketika kita kembali diberi kesuksesan, ketika keadaan kita kembali seperti semula disaat kita hidup serba ada. Kebanyakan dari kita akan kembali lagi lupa seperti saat kita sukses sebelumnya, ketika posisi kita berada di atas pusaran roda kehidupan ini. Itulah sebuah roda kehidupan yang secara sadar atau tidak sadar banyak dilalui kita sebagai manusia ciptaan-Nya. Semoga kita bisa mempertahankan rasa syukur kita akan semua nikmat yang diberikan oleh-Nya.. amin..

Gaya bahasa beliau berusaha berdialog dengan Tuhan bersama secangkir kopi ini, merupakan suatu gaya bahasa yan agak mendalam. Bukan bermaksud untuk ‘menghadirkan’ Tuhan di dunia, tetapi berusaha menggambarkan Tuhan secara lebih sederhana hadir bersama manusia, di dalam kehidupan sehari-hari kita. Sangat mirip dengan gaya bahasa Cak Nun dalam bukunya, Secangkir Kopi Jon Pakir yang selalu menghadirkan setiap cangkir kopi menemani setiap bab di dalam tulisannya. Mereka memperlihatkan dialog dengan gelas kopi, bahwa kopi bisa menemani kita kapanpun, dimanapun, dan  dalam keadaan apapun. 

Orang moderat akan melihat ini hanya sebagai sebuah perumpamaan, bahwa kita bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam dunia nyata tanpa harus menjadi manusia sufi yang hanya bisa dilalui oleh segelintir orang saja. Tetapi bagi yang mensyakralkan Tuhan, hal ini mungkin sangat dibenci karena menghadirkan Tuhan dalam dunia nyata. Mempersamakan Tuhan dengan ciptaan-Nya, layaknya mempersekutukan-Nya. 

Teringat, tatkala saya memposting story dengan menyanding 3 buah buku yag saya beli sekaligus saat itu, ‘Tuhan dalam Secangkir Kopi’,’Kitab Kopi dan rokok’, serta ‘Secangkir Kopi Jon Pakir’ yang saya beli secara online dan tiba bersamaan. Salah seorang teman baik saya langsung komentar “Buku ini paling bangsat” sambil memberitahu buku karangan Denny Siregar ini. Entahlah, karena dia selalu mengikuti tulisan-tulisan beliau atau kesal sehabis membaca bukunya, saya tidak tahu. Saya sendiri belum pernah mengenal dan membaca buku karangan beliau. Bahkan saya juga belum membaca satupun dari tiga buku yang sama sama keluaran lama itu. Mungkin, dia merasa terkena sindiran yang ditulis di dalam buku, atau mungkin banyak pemikirannya yang tidak sependapat dengan yang ada di dalam buku itu. Atau saja, mungkin dia sangat benci dengan pemahaman poligami yang beberapa kali diulas di dalam buku itu, seakan-akan penulis sangat menganjurkan untuk berbuat poligami.

Seperti yang dibahas di dalam buku, poligami memang sunnah, dan wanita sangatlah kuat jika dia rela untuk dipoligami. Tapi jika itu dalam keadaan yang benar-benar tidak bisa dihindarkan sehingga dia rela suaminya untuk berpoligami (silahkan pahami sendiri). Bahkan disitu juga disebutkan dengan terang, yaitu jika kalian tidak mampu, maka sebaiknya jangan. Memang, poligami adalah suatu hal yang sensitif sehingga banyak menimbulkna pro-kontra di kalangan masyarakat. Maka, kurangilah membahas masalah poligami, hehe. 

Terakhir, tidak semua statemennya tentang Tuhan saya sepakati, tetapi secara keseluruhan dia dapat menyuguhkan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari kita secara lebih sederhana. Sesederhana kita ketika tiba-tiba teringat akan adanya Tuhan…..
lalu lupa lagi….
Selamat ngopi

Rabu, 18 Juli 2018

Pendakian Gunung Argopuro Via Baderan-Bremi

Pendakian Gunung Argopuro Via Baderan-Bremi - Pendakian kali ini, kami akan mengujungi salah satu gunung dengan track pendakian terpanjang di Jawa. Seperti pada tahun sebelumnya, kami sudah berencana jauh-jauh hari untuk melakukan pendakian pasca lebaran ini. Maklum, kami semua pengangguran, jadi cukup enjoy dan bisa mendaki gunung kapanpun saat ada kemauan. Tinggal budjet saja yang harus disesuaikan, hehe...

Seperti yang kita ketahui, Gunung Argopro adalah salah satu gunung dengan track terpanjang di Jawa, dengan panjang track sekitar 50 km, sehingga butuh persiapan yang matang baik manajemen logistik maupun manajemen perjalanannya. Gunung yang berada kawasan Suaka Margasatwa Pegunungan Yang ini berada di antara gunung Raung dan juga Semeru. Posisi Gunung Argopro ini berada di 5 kabupaten yaitu Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo, dengan luas hampir 15 ribu hektar.
Terdapat  3 puncak tinggi yang menjadi tujuan utama para pendaki ketika melakukan perjalanan pendakian ke tempat ini, yaitu puncak Arca/Puncak Hyang, Puncak Rengganis, dan Puncak Argopro sebagai puncak tertingginya. Konon, di salah satu puncak ini, yaitu Puncak Rengganis adalah tempat bermukim Dewi Rengganis pada saat itu, adik dari Nyi Roro Kidul.
Rute yang kami pilih adalah Baderan-Bremi dengan melintas melalui puncak. Jika di tahun sebelumnya referensi yang umum dipakai adalah jalur Bremi-Baderan, beberapa tahun terakhir jalur Baderan-Bremi sudah mulai banyak dijdikan referensi oleh para pendaki. Seperti pepatah bilang: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Lewat jalur Baderan-Bremi ini kita akan melewati jalur dengan track yang lumayan panjang namun relatif landai, dan setelah melalui puncak, kita bisa istirahat menikmati indahnya Danau Taman Hidup sambil berenang maupun memancing di sana (kalau mau), sebelum kembali lagi turun ke beskem Bremi.
Dua orang dari kami pernah mendaki gunung ini sebelumnya di tahun 2013 dan 2014. Tetapi melalui jalur Bremi-Baderan serta Baderan-Bremi tanpa melintasi puncak. Sebelumnya, untuk melintas antar jalur ini umumnya melalui Cisentor sebagai persimpangan antar jalur. Baru pada setahun terakhir, jalur lintas melalui Puncak Argopuro dengan melewati Cemoro Limo banyak dilalui oleh para pendaki, dan cukup mempersingkat waktu perjalanan kami.
Lain halnya jika kita start melalui Bremi. Start dari sini relatif lebih cepat, bahkan bisa ditempuh dalam 2 hari saja sampai puncak, dengan medan yang cukup terjal dan lebih pendek. Bagi kalian yang tujuan utamanya adalah menuju puncak dengan waktu singkat, maka jalur ini menjadi referensi tersendiri. Namun jika ingin menikmati perjalanan sambil melihat pemandangan dan hewan-hewan liar seperti babi hutan, monyet, ayam hutan, dan juga merak, jalur Baderan lebih nyaman, dengan menginap semalam di Cikasur sambil menunggu merak di pagi hari. Bisa juga naik lewat Bremi dulu, lalu menimati sisa perjalanan di Cikasur sebelum turun ke Baderan, namun dengan perjalanan turun yang masih panjang.
adhb's gallery
Beskem Baderan
Kembali ke perjalanan kami, tidak lupa kami belanja bekal terlebih dahulu di pasar Besuki sebelum melanjutkan perjalanan menuju beskem Baderan. Beskem Baderan terletak di Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo. Dan tepat setahun yang lalu saya berada di daerah ini selama satu minggu untuk pergi ke kebun-kebun kopi milik warga untuk melihat  sejauh mana budi daya kopi di sini bisa meningkatkan kesejahteraan warga sekitar, termasuk juga rantai distribusi penyaluran buah kopi di wilayah ini. So, jadi saya sudah sedikit banyak mengetahui wilayah desa di seputaran Sumber Malang ini.
Di Baderan ini tidak terlalu banyak toko kelontong yang menjual aneka keperluan untuk mendaki gunung, apalagi sayuran. Karena di sana mayoritasnya adalah petani kopi dan tembakau. Berbeda dengan warga di Bremi yang sudah ramai dengan banyak kios besar, serta jalan yang sudah aspal bagus.
Siang hari kami telah sampai di Baderan, dan istirahat sambil mempersiapkan perlengkapan untuk perjalanan esok hari. Tak lupa kami melapor dan registrasi terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian.

Hari ke 1
Kami memilih untuk menggunakan ojek dari beskem menuju ke batas makadam sejauh 4 kilometer untuk menghemat tenaga kami di awal. Dengan menggunakan ojek ini kami bisa menyimpan tenaga yang seharusnya bisa ditempuh sekitar 4 jam-an. Jalan yang dilalui adalah tanah berbatu dengan banyak gundukan, sehingga kami harus berhati-hati saat naik ojek. Bagi kalian yang gak biasa, maka perjalanan ini terasa sedikit sakit, dengan jalan rusak yang bergelombang. Sepanjang jalan masih banyak perbaikan yang sedang dikerjakan oleh masyarkat baik membersihkan jalan, menambal jalan, maupun mereka yang sedang membuat talud agar jalan tidak tergerus air ketika hujan.
Tiba di batas makadam, kami mulai melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke Pos Mata Air 1. Di sini kami istirahat sebentar sambil makan siang dari bekal yang sudah kami persiapkan sebelumnya, agar menghemat waktu perjalanan kami. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke pos mata air 2. Jalan yang kami lalui banyak percabangan, antara jalur biasa dan jalur yang bisa dilalui sepeda motor. Jalur yang bisa dilalui oleh sepeda motor ini cukup sempit dan agak berlumpur, sehingga kita harus menapakkan kaki kita di tengah-tengah jalur tersebut, sambil berhati-hati agar tidak terpeleset.
Kami memilih mendirkan tenda di pos mata air 2 ini, karena selain dekat dengan mata air, lokasi camp cukup tertutup dari terpaan angin. Jika ingin mengambil air, kalian bisa turun sekitar 100 meter ke bawah di samping kanan tempat camp. Tetapi, kalian perlu berhati-hati, karena jalan menurun ini cukup terjal dan sedikit licin, dan apalagi di musim hujan. Ada 2 tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat camp di sini, yaitu di bagian atas dan sebelah bawah. Kami memilih di bagian bawah, karena agak tertutup oleh pepohonan, sehingga lebih nyaman.

Hari ke 2
Setelah berkemas-kemas, kami melanjutkan perjalanan menuju titik selanjutnya yaitu Cikasur. Di awal perjalanan, kita banyak melalui semak-semak yang tinggi, sehingga jalan agak tertutup. Setelah itu kita akan melewati alun-alun kecil yang cukup bagus dengan pemandangan padang sabana-nya. Tak berselang lama, kita juga akan menemui alun-alun besar, dengan sabana yang lebih luas dari sebelumnya. Yang perlu diperhatikan, sepanjang perjalanan, kita harus berhati-hati karena ada tanaman yang banyak terdapat di Argopro ini yang perlu kita waspadai, yaitu pohon jelatang (Gardenia Palmate) atau yang biasa orang sebut dengan pohon jancukan. Mungkin dulu waktu orang sini terkena pohon ini, maka mereka reflex mengatakan “jancuk”, sebuah kata bijak yang umum dipakai orang Suroboyoan.. hehe.
Jika terkena tanaman berduri ini, maka bagian itu akan terasa gatal, seperti pengalaman saya saat terkena pohon ini secara tidak sengaja ketika akan tiba di Cikasur. Rasa gatal tersebut sampai berjam-jam baru bisa hilang. Jangan lupa juga, jika terkena tanaman ini sebaiknya durinya cepat-cepat dicabut agar tidak tertancap terlalu dalam di kulit. Keluar sedikit dari hutan kita akan melewati sabana lagi sebelum tiba di sungai Qolbu, yang banyak didatangi oleh merak di pagi hari untuk minum air. Naik sedikit dari sungai Qalbu, kita akan sampai di Cikasur, tempat camp kita selanjutnya.
Bagi kalian yang ingin menikmati perjalanan, Pos Cikasur ini sangat dianjurkan sebagai tempat menginap kalian sambil hunting merak. Karena di sekitar sini banyak merak yang berkeliaran dengan bulu yang berwarna indah seanjang 1 meter atau lebih. Tetapi kalian harus melihat dari jauh karena jika kalian mendekat, merak terebut akan terbang menjauh. Lokasi yang paling sering didatangi adalah sungai Qolbu ketika pagi hari. Merak-merak tersebut biasanya mencari minum di sini, dan kalian bisa melihatnya dari jauh. Beruntung, selama di Cikasur saya bisa melihat merak lebih dari 5 kali walaupun sebentar-sebentar.
Sungai Qolbu ini sangat jernih, dengan banyak tumbuhan selada air yang mengapung di atasnya. Namun sayang, beberapa pendaki mencuci bekas makan mereka di sungai, bahkan ada yang buang air di sini, membuat pemandangan sungai kurang mengenakkan. Tetapi, kalian perlu mencoba selada air ini untuk dimakan, dan saya anjurkan untuk mengambilnya di bagian hulu yang masih bersih. Jika membawa sambal pecel, maka rasanya sungguh luar biasa. Hem….
Menurut cerita pak Arifin ang berada di beskem Bremi, pada zaman dahulu Cikasur ini merupaan tempat penangkaran rusa di zaman Belanda, dan mereka membuat landasan pesawat untuk membawa olahan daging rusa tersebut ke tempat lain. Berjalan agak ke tengah, ada himbauan untuk dilarang melintas. Jika masuk lebih dalam ke areal tersebut, ditakutkan kita bisa tersesat jika tanpa pemandu, mengingat jalan di sana banyak bercabang menuju ke area hutan yang lain.

Hari ke 3
Seperempat jam melakukan perjalanan dari Cikasur dengan sedikit menanjak, maka kita akan melihat bekas landasan pesawat terbang pada jaman Belanda tersebut dengan jelas. Bekas landasan pesawat ini tidak begitu terlihat saat kita di Cikasur, sehingga sebaiknya kita berhenti sejenak di tanjakan ini untuk sekedar melihat pemandangan tersebut, sesekali sambil mengambil foto bekas landasan pesawat yang cukup luas.
Setelah melewati jalur yang agak lebat dengan rumput-rumput liar, serta lagi-lagi melewati sabana, kita tiba di pos Cisentor menyeberang sungai kecil. Sebelumnya, kita akan melihat banyak pohon berukuran besar yang sudah tumbang akibat kebakaran hutan. Bahkan beberapa pohon yang dilewati ukuranya cukup besar, diperkirakan dengan diameter lebih dari 2 meter.
Perjalanan kita kali ini lumayan santai, karena setelah perdebatan cukup panjang di malam hari tadi, akhirnya kami menambah hari satu malam dengan menginap di Cisentor ini. Sebelumnya kami berencana untuk langsung menginap di Sabana Argopro yang terkenal dengan sebutan Sabana Lonceng. Sabana Lonceng sendiri sebetulnya berlokasi agak di dalam, dan bukan di pinggir jalur. Tetapi, karena banyak yang menyebut lokasi ini dengan Sabana Lonceng, maka hingga sekarang Pos ini banyak yang menyebutnya dengan Sabana Lonceng.
Jalur menuju ke Cisentor ini relatif landai dengan didominasi oleh rumput dan semak-semak setinggi orang dewasa. Kalau kalian jalan di malam hari, perlu berhat-hati karena seringkali jalur tertutup oleh semak-semak. Beberapa pohon tumbang di sekitaran jalur, dan jika tidak waspada, kita bisa terkantuk.
Di Cisentor ini, kita akan menemui gubug yang bisa untuk berteduh di seberang sungai. Di depan gubug inilah kami mendirikan tenda. Sedangkan jika ingin menuju Taman Hidup, kita bisa menerabas melalui jalur di belakang gubug ini. Sungainya di sini cukup bersih, dengan debit air yang cukup banyak, sehingga kalian tidak susah-susah membawa air dari bawah. Berbeda dengan Rawa Embik, walaupun terdapat air, tetapi tidak sejernih dan sebesar debit sungai di Cisentor ini.
Lokasi camp di depan gubug ini hanya bisa untuk sekitar 5-6 tenda, tetapi di sebelah samping atas sungai terdapat lokasi yang sangat luas untuk mendirikan tenda, bekas dari camp para tentara yang melakukan latihan dan bermalam di sini.

Hari ke 4
Lagi-lagi, perjalanan kami kali ini agak santai, karena tujuan kami selanjutnya adalah Sabana Lonceng. Perjalanan awal dimlai dari Cisentor menuju ke Rawa Embik. Seperti ketika akan tiba di Cisentor, dalam perjalanan menuju ke Rawa Embik ini kita juga akan melihat banyak bebatuan berukuran besar di kanan-kiri jalan. Jauh di sebelah kanan Rawa Embik terdapat Gunung Semeru, dan jika kalian ingin mengeksplore, maka kalian harus belok ke kanan di pertengahan jalur antara Rawa Embik-Sabana Lonceng, tetapi sebaiknya membawa pemandu atau teman yang sudah pernah ke lokasi tersebut untuk agar tidak tersesat.
Sampai di Rawa Embik cuaca terlihat mendung, dan gerimis mulai tiba, sehingga kami harus memakai ponco maupun jas hujan dalam pendakian menuju ke Sabana Lonceng. Sepanjang perjalanan ini kita disuguhi oleh pepohonan edelweiss nan hijau yang cukup banyak dengan ketinggian antara 1 sampai 3 meter. Ada juga pohon yang sudah tua dengan tinggi lebih dari 4 meter. Pemandangan edelweiss nan hijau ini baru saya jumpai di pegunungan Argopro dan belum pernah saya jumpai di gunung-gunung lainnya.
adhb's gallery
Menyusuri  Hijaunya Hutan Edelweiss
Mendekati Sabana Lonceng, suasana kabut menyelimuti perjalanan dengan cuaca segar sehabis hujan. Kami langsung mendirikan tenda, karena beberapa teman sudah kedinginan akibat terpaanhujan sepanjang perjalanan. Ternyata, malam ini hanya kami saja yang bertenda di pos Sabana Lonceng ini, tanpa ada tim lain yang ikut menemani suasana malam kami di sini.
adhb's gallery
Kabut di Sabana Lonceng
Hari ke  5
Pagi hari kami summit ke puncak Rengganis. Perjalanan ke puncak Rengganis dari Sabana Lonceng hanya sekitar 500 meter dilalui dengan santai tidak sampai 30 menit. Kami hanya membawa perbekalan sedikit, dan barang-barang lain kami tinggal di tenda. Sebelum sampai di puncak kami melihat beberapa bekas bangunan di sebelah kiri jalur (sedikit agak masuk) serta tumpukan batu yang menyerupai makam di sebelah kanan. Kami sendiri tidak tahu, apakah itu makam atau bukan, karena tidak ada tanda-tanda seperti nisan ataupun hal lain yang bisa meyakinkan kami mengenai hal itu. Sesekali, saya mengamati tumpukan-tumpukan batu kecil yang ditata ke atas oleh para pendaki yang iseng belajar menata batu biar bisa simetris. Konon, di puncak Rengganis ini terdapat batu yang ada airnya, dan jika beruntung, kita bisa mengambil air tersebut sampai beberapa botol.
Setelah merasa cukup explore Puncak Rengganis, kami kembali lagi ke tenda. Tak lupa sarapan buat persiapan summit ke puncak tertinggi, yaitu puncak Argopuro. Perjalanan summit kali ini agak siangan, karena kami istirahat sebentar sambil mengeringkan barang yang basah kemarin. Cuaca kali ini cukup cerah, menemani perjalanan summit sekitar 30 menit menuju puncak dengan medan yang cukup terjal.
Di Puncak Argopro ini ditandai dengan patok baja triangulasi yang tidak terlalu tinggi. Tidak seperti pemandangan puncak di gunung yang lain, di puncak Argopro ini terdapat beberapa pohon yang menjulang, walaupun tidak terlalu tinggi.
Perjalanan kami lanjutkan kembali ke puncak Arca/Puncak Hyang, melewati bebatuan yang agak landai. Tidak sampai 30 menit kami sudah sampai di puncak Arca. Sedikit flashback di di tahun 2006 lalu, ada teman dari salah satu anggota tim kami yang hilang misterius, dan hanya ditemukan jejak gelasnya di saddle dari Puncak Argopuro menuju Puncak Arca ini dan belum ketemu hingga sekarang.
Puncak Arca berada di sebelah atas, sedangkan arcanya sendiri agak di bawah tertutup tanah dengan jarak sekitar 3 meter dari Puncak Arca tersebut. Tetapi kepala arca tersebut kini sudah tidak ada akibat ulah tangan orang jahil yang mengambil patung kepala arca secara tidak bertanggungjawab. Kami beruntung, bisa melihat awan indah di seberang sana dari bawah puncak Arca ini, ketika kabut turun.
Setelah itu kami turun menuju ke Danau Taman Hidup, melalui Cemoro Limo. Perjalanan ke Cemoro Limo ini cukup terjal, dan melalui beberapa tebing. Kami juga menemukan beberapa sungai musiman, yang hanya ada air ketika musim hujan. Sepanjang perjalanan kita perlu berhati-hati, karena tanahnya cukup licin.
Di Cemoro Limo terdapat tanda bekas camp tentara seperti halnya di Cisentor. Tempat ini sangat cocok untuk beristirahat sejenak, di bawah naungan pohon cemara yang rindang, dan kita juga bisa melihat pemandangan awan. Di depannya juga terdapat puncak, tetapi tidak ada jalur untuk menuju ke sana. Kami sebenarnya sudah mencoba untuk naik ke puncak tersebut untuk melihat danau yang ada di atas puncaknya, namun belum ada setengah perjalanan, kabut melanda, sehingga kami memutuskan untuk kembali turun ke Cemoro Limo.
Konon, dulu gunung tersebut merupakan daerah yang subur dan indah, dengan danau yang berada di atas puncak. Namun karena Dewi Rengganis tidak suka, maka gunung tersebut dikutuk menjadi daerah yang kering dan tandus. Bahkan sampai sekarang, ketika musim hujan tiba, danau tersebut tetap tidak ada airnya.
Zein Galley
menikmati kopi pagi di Danau Taman Hidup
Lelah terasa hilang, setelah kita tiba di Danau Taman Hidup yang cukup luas dengan pemandangan berselimut kabut ketika kami sampai. Kalian bisa mendirikan tenda di pinggir danau ini sambil menikmati pemandangan layaknya di Ranukumbolo, tetapi suhunya cukup dingin di malam hari. Jika ingin mencari yang agak tertutup, lebih baik mendirikan tenda di area camp yang agak masuk, agar lebih nyaman.
Saya iseng-iseng mengelilingi danau ini, dengan berjalan sekitar 1 jam. Namun, jika ingin berjalan di area danau, lebih enak tidak memakai sepatu karena beberapa tanah tergenang air. Di seberang danau, tanah berwarna merah dan sedikit licin. Banyak babi hutan di sana, karena daerahnya cukup rimbun. Saya sendiri beberapa kali melihat segerombolan babi hutan yang berlarian masuk ke rerimbunan pohon.

Hari ke 6
Hari terakhir perjalanan ini, kami lakukan dengan santai. Setelah mengambil gambar di danau, kami melanjutkan menyusuri hutan dengan jalan tanah menurun. Jalur yang kita lalui banyak percabangan ataupun ada 2 jalur. Namun rata-rata jalur tersebut bertemu setelah beberapa meter kita berjalan. Jadi kalian bebas memilih apakah mau menggunakan jalur yang landai, atau jalur yang lebih cepat. Semua sama saja, karena akan kembali bertemu di jalur berikutnya.
Di bagian bawah, kita akan banyak melihat pohon damar yang diambil getahnya oleh masyarakat sekitar. Kemudian terakhir, kita akan melalui kebun milik warga yang banyak ditanami berbagai jenis sayuran, dengan sungai kecil di pinggirnya. Airnya sungguh menyegarkan jika diminum. Di sebelah kiri kita terdapat Gunung Gendeng menjulang tinggi di seberang sungai, dengan punggungan yang menyatu ke arah puncak.
Tidak terasa, kami sampai di beskem Bremi setelah melalui perjalanan selama enam hari ini. Oya, jika kalian naik angkutan, dari Bremi ini hanya 2 kali lewat, yaitu di pagi hari sekitar jam 6 dan sore hari sekitar jam 4. Selamat mencoba…

Berikut estimasi pilihan biaya yang perlu kalian keluarkan

Tarif ojek :
Besuki-Baderan     (+/- 30 menit)              : 45.000-50.000,-
Beskem-Batas Makadam (+/- 30 menit)    : 40.000,-
Baderan-Cikasur     (+/- 3 jam)                  : 300.000,-

Biaya Registrasi lokal :
Week days    : 20.000/orang/hari
Week end    : 30.000/orang/hari
Mancanegara :
Week days    : 250.000/orang/hari
Week end    : 375.000/orang/hari

Estimasi lama perjalanan kami (santai dengan carrier)
Beskem Baderan – Batas Makadam (dengan ojek)   : 30 menit -- jarak 4 km
Batas Makadam – Pos Mata Air 1                             : 4 jam – jarak 3 km
Pos Mata Air 1 - Pos Mata Air 2                               : 3 jam – jarak 5,5 km
Pos Mata Air 2 – Alun-Alun Kecil                            : 1 jam – jarak 2,5 km
Alun-Alun Kecil - Alun-Alun Besar                         : 2 jam – jarak 2 km
Alun-Alun Besar – Cikasur                                       : 1,5 jam – jarak 3,5 km
Cikasur - Cisentor                                                      : 5 jam - jarak 5 km
Cisentor - Sabana Lonceng                                        : 6 jam - jarak 5,5 km
Sabana Lonceng - Puncak Rengganis                        : 20 Menit - Jarak 0,5 km
Sabana Lonceng - Danau Taman Hidup                    : 6 jam - jarak 9,5 km
Danau Taman Hidup - Bremi                                     : 3 jam - jarak 7,5 km
Zein Gallery
The Slacker Hiker Team

The Slacker Hiker Team :
Septian
Uki Wardoyo
Janatan Ginting
Adheb



Kamis, 01 Maret 2018

Resensi Buku: Literatur Keislaman Generasi Millenial; Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi

Resensi Buku: Literatur Keislaman Generasi Millenial; Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi - Sebenarnya gak ada niatan dari saya untuk membaca buku ini. Ketika itu, kami diperkenalkan oleh dosen sekaligus sekaligus editor buku ini pada pertemuan terakhir perkuliahan, sebelum perpisahan antara dosen-mahasiswa di akhir semester. Seperti biasa, tidak hanya sekedar memperkenalkan, tetapi beliau juga menyarankan kami semua untuk memilikinya, karena salah satu buku terbitan fakultas kami.
adheb's book
Literatur Kesilaman Generasi Millenial
Covernya cukup menarik sih, tetapi melihat judulnya saja, ada dua hal yang sekilas terlihat kontradiksi di mata saya. Pertama adalah tulisan “Generasi Millenial”, karena tulisan ini konotasi dengan anak muda jaman now yang terkenal dengan budaya online, instan, berpikir cepat, dan lebih terbuka terhadap teknlogi khususnya di bidang digital, sehingga di benak kita akan terbayang bahwa materi di dalamnya terkait generasi anak muda sekarang yang masih energik, fast thinking, dan fisioner.
Namun, di bawahnya tertulis judul pembahasannya “Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi”. Gaya bahasa ilmiah yang kental banget dengan nuansa UIN-nya, sehingga kemudian terbersit di dalam pikiran saya bahwa isi di dalamnya pasti tulisan ilmiah dengan gaya bahasa dosen UIN yang agak menjemukan jika dibaca oleh kalangan umum, karena biasanya gaya tulisannya hanya enak dinikmati oleh kalangan mahasiswa serta pergerakan, bukan kaum muda millenial yang menyukai gaya bahasa lugas.
Itulah mengapa saya jarang membaca tulisan-tulisan mereka yang menurut saya terlalu kaku, mendalam, ilmiah-is, serta agak menjenuhkan, karena saya sendiri lebih suka tulisan-tulisan dengan gaya bahasa yang mudah untuk dipahami, termasuk tulisan dari penuls islamis yang dibahas di dalam buku ini (walaupun hanya sedikit tulisan yang pernah saya baca).
Tulisan-tulisan mereka cukup mempengaruhi kebiasaan saya ketika bergabung di Rohis sewaktu SMA dulu, seperti majalah An-Nida, Tulisan dari Aa’ Gym, Asma Nadia, termasuk Habiburrahman El Shirazy sendiri, walaupun di tingkat terakhir saya memilih untuk berhenti dari Rohis karena massifnya para senior dan alumni yang mencekoki kami dengan gaya mereka yang cukup berbeda dengan kebiasaan saya, dan hal ini tidak hanya terjadi di Rohis sekolah saya, teteapi hampir di semua Rohis di SMA-SMA sekitar sekolah pada waktu itu.
Membuka lembaran-lembaran awal, ada beberapa hal yang cukup membuat saya tertarik, utamanya adalah daftar kontributor dalam penulisan ini karena di dalamnya tertulis sederet nama-nama yang saya kenal sebagai dosen yang mengajar kami di kelas.
Beberapa dari mereka selalu berujar bahwa makalah kami tdak pernah ada yang bagus, dan kami perlu mengasah tulisan kami secara terus-menerus agar lebih baik lagi, sehingga nilai yang kami terima di beberapa mata kuliah tersebut hampir semuanya jelek (maksimal menengah). Itulah, kenapa saya ingin tahu seperti apa sih gaya bahasa mereka dalam membuat tulisan. Kadang mereka juga memamerkan gaya kuliahnya ketik di luar negeri dengan referensi penulis-penulis dari luar berbahasa arab atau inggrisnya, sehingga terkesan “mengece” kami para mahasiswa dari dalam negeri.
Namun, setelah membaca lembar demi lembar tulisan-tulisan mereka di buku ini, ternyata isinya cukup menarik. Walaupun dengan gaya bahasa ilmiah, tulisan-tulisannya memiliki alur yang enak dan mudah dipahami layaknya membaca novel dengan masing-masing chapter. Yang keren di sini gaya bahasa tersebut juga memuat data-data lapangan yang apik dan sistematis, sehingga menambah cakrawala saya yang selama ini hanya mengenal penulis-penulis islamis masa kini ketika melewati jalanan depan book fair baik di UNY maupun di depan Wanitatama saat naik kedaraan saja, melalui tulisan-tulisan baliho besar di depannya. Memang, saya sendiri jarang sekali masuk ke pameran tersebut, karena kurang tertarik dengan pengisi-pengisinya. Begitu juga dengan buku-bukunya, saya sendiri kurang berminat membaca buku seperti tulisan-tulisan Salim A.Fillah, Felix Shiauw, maupun penulis-penulis islamis terbaru.
Saya sendiri menjadi agak tertarik untuk melihat tulisan-tulisan mereka setelah membaca buku ini (walaupun bukan membaca secara utuh, tetapi lebih pada ketertarikan mengetahui isi tulisan mereka), termasuk tulisan dari Edi Akhilas yang berjudul “Katanya Pacaran itu Haram Ya? Putusin Enggak Ya?” yang dibahas oleh salah satu penulis di dalam buku ini sebagai counter dari bukunya Felix Shiauw tentang “Udah, Putusin Aja”, walaupun buku itu tidak booming seperti bukunya Felix Shiauw ini.
Bukan karena saya tidak begitu suka novel ataupun tulisan gaya millenial, tetapi keingintahuan saya terhadap buku yang ditulis dengan gaya bahasa millennial ini, sehingga terasa berimbang dalam mengcounter tulisan Felix dengan gaya bahasa yang sama, yatu gaya bahasa anak millenial.
Jika kalian ingin melihat persebaran penjualan buku maupun toko-toko buku islamis dengan aliran yang khas dari masing-masing di beberapa kota di Indonesia, cukup dengan membaca buku ini kita bisa membayangkan seperti apa pesebaran penjualan seta konsumen-konsumen buku islamis yang dibaca di Indonesia ini. Bahkan kita bisa melihat peta kampus-kampus dengan mayoritas aliran yang mereka (Lembaga Dakwah Kampus) anut berdasarkan penerbit-penerbit, toko buku, termasuk buku-buku yang paling laris di seputaran wilayah tersebut.
Buku ini cukup memahamkan saya yang masih awam tentang tulisan islamis di Indonesia sekarang ini, dengan memaparkan masing-masing aliran serta referensi yang mereka pakai di masing-masing wilyaha. Teringat saat kuliah terakhir yang membahas tentang Dynasti Utsmani, khuusnya pada masa pemerintahan Al-Fatih dan Raja Salim. Mengomentari tulisan Felix Shiauw tentang kepemimpinan Al-Fatih, mengingat buku tersebut adalah buku motivasi, maka wajar jika isi yang dibahas adalah seputar kelebihan dan keperkasaan Fatih selama menjadi raja. Namun, sebagai seorang akademis kita tahu bahwa di setiap pemerintahan pasti ada pro-kontra dengan kelemahan-kelemahannya. Begitu pula pro-kontra di masa kepemimpinan Al-Fatih, yang tidak diungkapkan di buku tersebut, yang dibahas di kelas kami mengenai kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Utsmani tersebut.
Walaupun rata-rata tulisna di dalam buku ini mengalir dan mudah untuk dipahami oleh pembaca, namun ada salah satu tulisan di dalam buku yang terkesan garing, karena isinya hanya seperti laporan penelitian dan tidak diedit seperti tulisan/ jurnal yang bisa dengan mudah untuk dipahami oleh khalayak. Selamat membaca..

Jumat, 02 Februari 2018

Mardigu W.P. "Jangan Pernah Berkata Saya Tidak Pernah Memperingatkan Anda"

Mardigu W.P. "Jangan Pernah Berkata Saya Tidak Pernah Memperingatkan Anda" - Ketika pertama kali membaca komentar orang di sosial media mengenai buku ini, tidak tau kenapa saya jadi tertarik untuk membacanya. Langsung saja, saya mencari stok buku tersebut di Jogja. Namun tidak ketemu, hingga akhirnya saya bisa menemukannya secara online. Dan itupun tidak banyak yang (berani) menjualnya. 
adheb's book
Mardigu W.P.
Ini adalah kali pertama saya membaca tulisan Wowik, termasuk kali pertama mendengar orang cemerlang ini. Berhubung baru mengenal, maka saya iseng-iseng googling siapa sih dia sebenarnya. Sekilas, tak banyak yang menjelaskan mengenai profil data dirinya. Hanya penjelasan bahwa beliau adalah seorang bisnisman dan juga berbagai tulisannya yang cukup banyak bertebaran di media online. Di awal saya menyimpulkan bahwa beliau adalah seorang motivator yang juga menjual buku-buku, dan baru paham di akhir, bahwa beliau memang salah satu pebisnis kelas kakap.
Membaca buku ini, kita akan disuguhi dengan berbagai data politik, ekonomi, bahkan data-data mengenai inteligen Indonesia dari sisi yang berbeda Inilah yang saya suka, melihat sisi politik Indonesia, serta melihat elit politik-elit politik yang berkuasa sesungguhnya dari orang yang berbeda, bukan dari media mainstream yang selalu saya kita dan mungkin kalian semua konsumsi sehari-hari. 
Saya sangat suka gaya bahasa beliau, yang mengkritik pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan belaiu, termasuk juga memuji gaya kerja presiden yang pada dasarnya visioner, namun dikelilingi oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik masing-masing. Beliau menjelaskan data-data tanpa munafik bahwa beliau juga berambisi untuk dapat mengelola binis yang sama. Cara beliau mengomentari permasalahan yang mengusik dirinya sangatlah elegan, dengan tidak hanya menyodorkan kritik-kritik tajam terhadap pemerintah, namun juga disertai dengan saran dan masukan yang sangat komprehensif inilah yang membuat saya terkagum. Tidak sekedar kritik, namun semua itu sudah dipersiapkan sedemikian rupa, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Tak terkeculi, gaya bahasa yang sangat mudah dicerna dengan bahasa yang tidak terlalu kaku, tidak terlalu akademis, namun gaya sehari-hari beliau dengan memaparkan data-data bagi kaum yang menururtnya awam membuat kita nyaman membaca. Apalagi data yang terkesan berat beliau jelaskan terlebih dahulu, termasuk runtutan dari sejarahnya walaupun secara singkat, sehingga kita bisa memahaminya secara bertahap.
Inilah buku yang cocok untuk dibaca untuk kita, karena bukan hanya sekedar bicara, namun didukung dengan berbagai sumber, fakta, dan data-data yang dikuasai oleh pemateri secara utuh, sehingga kita seolah-olah seperti membaca laporan, namun dengan gaya bahasa gaul anak muda. Lebih tepat lagi, alineanya mengalir bagaikan bacaan novel yang mudah dicerna dengan berbagai data.
Bagi kalian yang ingin membaca novel mengenai politik pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan masalah bisnis di Indonesia, buku ini bisa dicoba, karena membahas masalah tersebut dari sisi yang berbeda, dan sangat up to date. Semoga dengan membaca buku ini, kalian bisa melihat elit politik pemerintahan Indonesia di luar mainsteam…