Pertama Kali ke Sumatera Selatan - Mendengar
Sumatera, akhir-akhir ini sering terdengar kasus begal, rampok, dan
sebagainya yang selalu terberitakan lewat berbagai media. Ya,
Sumatera, Lampung, dan beberapa daerah sekitarnya, kerap kali tersiar
di tv, aksi kawanan rampok atau begal, yang bahkan akhir-akhir ini
menjamur sampai ke Jawa dan daerah lain di Indonesia. Mungkin itu
yang ditakuti orang, ketika pertama kali datang ke Pulau ini.
Jembatan Ampera Palembang
|
Pertama
kali tiba di Palembang, yang ada di benak saya adalah kotanya, yang
cukup ramai. Mungkin lebih ramai daripada Jogja. Panas, memang
daerah di sini dengan suhu yang lumayan tinggi. Namun, saya cukup
senang di sini, untuk beberapa minggu di awal perjalanan ini, saat di
kota, dimana sebelumnya berfikiran bahwa masyarakat kota di sini
mirip dengan masyarakat di Jakarta yang individualis. Ternyata, lebih
baik dari yang saya kira. Setiap kali saya bepergian sendiri, dan
menanyakan suatu alamat, mereka selalu menjawabnya dan mengarahkan
kami. Bahkan, beberapa kali menjelaskan dengan detail rute yang harus
saya tuju. Mungkin sudah kebiasaan mereka, jika harus berhati-hati,
mereka juga seringkali mengngingatkan saya untuk menjaga diri, agar
selalu waspada, siapa tau ada orang yang jahat di perjalanan.
Pernah
suatu kali, saya meninggalkan tas dan hp di depan rumah, hanya
berjalan sekitar 10 meter saja, kemudian yang punya rumah
mengingatkan untuk menjaga barang-barang saya. Berkali-kali dia
mengingatkan saya, bukan karena marah, tetapi memang karena mereka
ingin agar saya menjaaga setiap barang yang saya bawa dengan baik,
dan jangan sampai lalai.
Itu
baru di seputaran kota. Terus bagaimana dengan di desa? Selama
perjalanan saya di Sumatera, rata-rata warga desa cukup ramah, hampir
sama dengan warga di Jawa pada umumnya. Mereka aan berbaik hati
kepada kita, selama tujuan kita juga baik di daerah mereka, dan tidak
melakukan hal yang bisa mengganggu mereka.
Ada
beberapa hal di masyarakat sini yang tidak biasa, seperti layaknya di
Jawa. Secara umum, yang saya temui antara lain: jika kita menanyakan
suatu arah mata angin. Banyak yang tidak mengetahuniya. Mungkin kalau
hanya sebatas mata angin, mereka tahu. Tetapi, untuk menjelaskan
arah, banyak yang kesusahan untuk mengatakan ke timur, barat, atau
selatan. Mereka akan menjawab ke kanan atau ke kiri, karena jika kita
tanya ke selatan, atau ke timur, mereka akan semakin bingung.
Maklumlah, di sini banyak daerah yang tidak lurus, jalan yang
mengikuti aliran sungai, dan berkelok-kelok. Pun begitu, jika
dibandingkan dengan orang-orang di Jawa, biasanya mereka tetap tahu
mana arah utara dan mana arah selatan, walau mereka juga ada yang
demografisnya tidak rata.
Kedua,
lagi-lagi masalah arah. Sering sekali saya melihat orang yang
menunjukkan arah sebaliknya. Pernah beberapa kali saya bertanya suatu
tempat. Dan mereka menunjukkan untuk belok ke kiri, kemudian ke
kanan. Namun kenyataannya tidak demikian. Misalnya, saya sudah tahu
arah suatu tempat dari sini misalnya, belok kanan, lalu belok kiri.
Saya coba bertanya, mereka menjawab belok kiri, lalu belok ke kanan.
Entah jawaban mereka dari arah sana (tempat tujuan atau bagaimana)
yang jelas, jawaban mereka berbalik dengan arah yang akan kita tuju
dari tujuan saat kita bertanya. Beberapa kali juga saya menjumpai,
mereka mengatakan arah, namun dengan menunjukkan arah tangan yang
berbeda dengan ucapan. Misalnya, mereka berkata ke kanan, lalu ke
kiri (di mulut) namun arah tangan yang mereka tunjukkan ke kiri, lalu
ke kakan.
Sampai
sekarang saya belum mengerti juga terkait hal ini, entah frasenya
yang berbeda dengan kita (seperti bahasa inggris aja, yang
berkebalikan dengan bahasa Indonesia) atau mungkin biasanya mereka
menjelaskannya dari tempat yang kita tuju ke arah sekarang (start
saat bertanya) atau ada hal lain lagi. Terkait hal ini, satu hal yang
agak berbeda dengan orang Jawa terkait bilangan. Setengah dua ratus
misalnya, itu artinya dua ratus lima puluh, sedangkan kebiasaan di
Jawa kebalikan, dua setengah.
Ke
tiga, masalah keamanan. Hampir di semua tempat di Sumsel ini, di
setiap daerah pasti kita selalu diwanti-wanti untuk jaga diri, jaga
barang-barang kita. Hampir di setiap daerah ada orang yang bercerita
tentang ketidak amanan daerah mereka, jangan pergi sendirian, jangan
pulang malam, atau jangan taruh motor agak jauh. Mungkin mereka
trauma, seringnya terjadi peristiwa perampokan atau begal. Bukan
karena dicuri, karena jarang saya mendengar masalah pencurian di
sini, tetapi untuk masalah begal, hampir selalu terdengar. Maklum,
sekarang ini harga karet yang merupakan penghasilan mayoritas orang
sini anjlok
Dulu
yang harganya sampai 20 atau 25 ribu, beberapa tahun belakangan hanya
di kisaran 7 ribuan. Makanya, jika tidak punya uang, kebiasaan mereka
adalah merampas (mbegal). Mungkin bagi saya sendiri ini hal yang
tidak biasa, karena di beberapa tempat saya merasa akan aman lewat
suatu daerah sendirian, seperti di Jawa atau pulau lain, tetapi yang
saya takutkan adalaha malah perkataan warga untuk tidak pergi
sendirian, atau tidak lewat terlalu sore. Ya, mau tidak mau kita
harus mengikuti perkataan mereka, demi kebaikan kita juga. Tetapi
yang jelas, selama keliling Sumsel ini belum pernah sekalipun saya
menemui atau mendengar ada begal, di saat saya berada di daerah
tersebut. Semoga selalu aman-aman saja...
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan pembaca berkomentar dengan santun untuk memberikan saran dan masukan kepada kami, terimakasih.