Semburat mentari sudah mulai menampakkan diri sejak pagi tadi, dan kini teriknya cukup menyengatkan badan saat kita berlama-lama di bawah sinarnya. Cuaca Borneo beberapa hari ini cukup panas akibat dilewati oleh garis khatulistiwa yang membelah bumi jadi dua bagian. Ah, mungkin titik ekuinoks sedang terjadi di belahan Bumi Borneo bagian barat sekarang ini.
Waktu menunjukkan jam setengah delapan pagi, keceriaan anak-anak SD sudah mulai ramai terlihat memenuhi sekolah di pelosok desa yang terletak cukup jauh dari ibukota kabupaten. Mereka berbondong-bondong datang untuk mencari ilmu demi bekal masa depan yang lebih baik. Seperti asa setiap orang tua dari kita dan mereka. Tentunya, pendidikan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan agar kehidupan dewasa mereka bisa lebih maju, lebih baik, dengan menyerap semua pelajaran yang diajarkan di sekolah dari kecil. Itulah harapan tak terbantahkan dari semua orang bagi generasi penerusnya.
Setengah jam kemudian semua guru sudah berada di sekolah, karena kegiatan belajar mengajar baru dimulai ketika jam delapan teng. Di kabupaten ini, hampir semua sekolah di pelosok desa baru memulai KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pukul delapan pagi walaupun ada beberapa sekolah yang sudah memulai sebelumnya, tetapi hal seperti ini sulit untuk ditemui. Alasan geografis, lokasi guru yang jauh dari sekolah, cuaca, akses menuju sekolah, termasuk kondisi perekonomian keluarga (tepatnya kurangnya perhatian orang tua terhadap anak) membuat beberapa siswa harus membantu kegiatan orang tua sebelum mereka berangkat ke sekolah. Karena itulah, di kabupaten ini masih tetap memberlakukan kegiatan KBM selama 6 hari, bukan 5 hari seperti di beberapa daerah lain.
Ah… memoriku sedikit mengingat kembali, flasback suasana setahun yang lalu ketika aku mengunjungi lokasi yang sama…
----------------------------------------------------------------------
Di tempat yang sama seperti setahun lalu itu, mataku masih saja melihat keadaan sekeliling sekolah yang masih sama. Nyaris tanpa ada beda. Tidak ada perubahan dengan keadaan sekolah yang terlihat bersih dan lumayan terawat dibanding beberapa sekolah lainnya. Biasanya, di sore hari halaman sekolah dimanfaatkan oleh warga setempat untuk menjemur padinya. Sama seperti tahun lalu, saya datang disaat musim ngetam tiba, dimana warga sibuk mengetam padinya yang hanya bisa tumbuh sekali dalam setahun. Mereka menyebutnya dengan padi gunung. Senang rasanya bisa berjumpa kembali dengan beberapa abdi bangsa di sana yang masih semangat membagikan ilmu kepada anak didik dengan gigih. Beberapa guru di sini berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Banten, Aceh dan sudah berpuluh-puluh tahun menjadi warga setempat sebagai pilihan jalan hidupnya.
Pak Wanari, merupakan seorang kepala sekolah yang open minded dan sangat terbuka kepada semua orang. Dia selalu berprinsip bahwa untuk dapat dipercaya oleh masyarakat, maka keterbukaan adalah hal yang utama tanpa harus ditutup-tutupi di dalam segala hal. Itulah kenapa beliau masih saja dipercaya untuk memimpin sekolah sampai sekarang, setelah kepala sekolah lama yang berasal dari Jogja pensiun beberapa tahun lalu. Beliau meneruskan tongkat kepengurusan ini tanpa pamrih, meskipun jabatannya hanya sebagai plt tanpa dapat tunjangan kepala sekolah yang seharusnya diterima. Maklum, golongannya belum menenuhi syarat untuk diangkat menjadi kepala sekokah, karna waktu itu dia melamar pns dengan ijasah SMA, walaupun sebenarnya dia sudah punya ijasah S1.
Dikala hampir semua sekolah meliburkan KBM di hari Sabtu ketika ada pertemuan KKG yang rutin diselenggarakan tiap 2 minggu sekali, beliau mempunyai kebijakan lain. Di sekolahnya, siswa diharuskan masuk walapun hanya bisa belajar dari jam delapan sampai setengah sepuluh. Setelah itu semua guru baru berangkat mengikuti kegiatan KKG. Biasanya baru dimulai jam sepuluh pagi, jika tidak molor agak siang. Dia tidak ingin siswanya kehilangan hak belajar mereka. Bayangkan saja, siswa di sini dan berbagai kecamatan lain harus kehilangan waktu belajar dua kali setiap bulan karena adanya KKG. Bukan karena kegiatannya, tetapi kebijakan kepala sekolah yang meliburkan siswa di waktu KKG membuat siswa dengan senang kehilangan hak mereka untuk memperoleh ilmu di sekolah. Lokasi KKG yang jauh atuapun rumah para guru yang jauh, membuat mereka memutuskan untuk meliburkan siswa setiap kegiatan KKG tiba. Ah, saya jadi bisa main ke sekolahan, melihat kegiatan dan belajar bersama dengan para siswa di Sabtu ini yang tetap masuk setengah hari.
Pernah suatu ketika saya melihat langsung Pak Wanari menegur aparat desa yang datang ke sekolah untuk menemui salah satu guru ketika masih mengajar, karena ternyata mereka datang bukan untuk urusan sekolah melainkan urusan desa yang lain, yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Beliau menegur dengan santun tanpa menyinggung perasaan. Seperti guru-guru yang lain, hampir semua guru di sini mempunyai pekerjaan sampingan di luar mengajar seperti mengurus lahan karet atau sawit. Di luar kegiatan sekolah, Pak Wanari mempunyai toko kelontong yang terletak di pusat desa dan selalu ramai setiap harinya dengan perbagai stok perabot rumah tagga lengkap termasuk pakaian sehari-hari. Ia menghabiskan waktu menjaga toko ketika tidak mengurus kegiatan sekolah. Sesekali, beliau bercocok tanam menanam sayur di pinggiran kebun sawitnya yang lumayan luas.
Ada juga Pak Jojon, guru penyabar yang selalu menerima tugas tanpa pamrih. Dua tahun terakhir beliau ditunjuk sebagai wali kelas 6, sebagai ujung tombak kelulusan dan juga pertaruhan baik-buruk sekolah di mata dinas. Jika ada siswa yang tidak naik kelas, otomatis wali kelas 6 harus menanggung malu, disamping kepala sekolah yang juga ikut andil dalam hubungan kriteria kegagalan suatu sekolah. Pak Jojon pernah bercerita bahwa sebenarnya lebih mudah mengajar kelas rendah, apalagi kelas menengah yang sudah punya modal membaca dan mengenal huruf, sehingga cukup mengajar seperti biasa tanpa harus capek-capek memberikan les tambahan sepulang sekolah, agar siswa lulus seratus persen. Namun, apapun yang ditugaskan oleh beliau harus dijunjung dengan iklas, suka rela, demi pendidikan di desanya yang lebih baik lagi. Kepala sekolah merasa bahwa beliaulah satu satunya guru yang paling dipercaya untuk membimbing dan meningkatkan pengetahuan siswa dengan maksimal. Selain mengajar, beliau juga diberi tugas tambahan mengurusi anggaran sekolah dari dana BOS, karena dia guru yang bisa menggunakan komputer dibanding guru PNS lain yang sudah sepuh. di luar sekolah beliau juga sebagai ketua KKG rayon ini, sehingga setiap pertemuan KKG, dialah yang merancang serta menjadwalkan kegiatan setiap bulannya.
Dengan adanya tunjangan khusus ini, beliau merasa sangat bersyukur, karena secara tidak langsung pemerintah ikut memperhatikan guru guru yang ada di remot area ini. Sekarang ini, jika ditotal dalam sebulan rata rata dia memperoleh pendapatan belasan juta dari gaji yang ia terima sebagai seorang guru. Belum lagi usaha lain seperti kebun sawit serta penggilingan padi yang ia kelola di rumah. Namun rumah yang ia tempati bukanlah rumah pribadi, melainkan rumah dinas sekolahan yang sudah ia diami selama beberapa tahun. Selama ini, ia fokus untuk menyekolahkan anak anaknya sampai kuliah. Anak bungsunya masih kelas satu SMA di Pontianak, sementara dua kakaknya sudah selesai kuliah. Suatu saat dia ingin membangun rumah kecil kecilan, sebagai bekal pensiun nanti, karena setelah pensiun, otomatis dia akan mengembalikan rumah milik negara yang masih dia tempati sekarang ini.
Ada dua keinginan besar yang ingin beliau wujudkan beberapa tahun ke depan setelah pemilu ini, karena saat ini dia juga masih sibuk mengurusi pemilu sebagai ketua KPPS di daerahnya. Di usianya yang hampir kepala lima, dia masih ingin meningkatkan golongannya menjadi 4B. Saya sendiri belum pernah menemui golongan seperti itu bercokol di sekolah SD yang pernah saya kunjungi. Persyaratan yang cukup menyulitkan seperti tugas bikin karya ilmiah, membuat guru guru nyaman berada di level 4A di usianya yang tinggal pensiun beberapa tahun lagi. Penguasaan teknologi, seperti kurang familiar dengan laptop atau computer membuat guru-guru senior terlalu gagap untuk menyelesaikan tugas memakai komputer yang masih grotal gratul ini.
Keinginan beliau yang satunya adalah lanjut kuliah S2. Apresiasi yang luar biasa dari dalam hati saya melihat kegigihan guru di pelosok seperti ini, yang masih mempunyai ambisi untuk mencari ilmu lebih luas lagi. Dari berdua cerita sampai larut malam waktu itu, saya yakin keinginannya bukanlah sekedar untuk meningkatkan pangkat atau golongan, mengingat usia dan golongannya sudah termasuk taraf yang mapan dan aman.
Ah… sangat betah rasanya berada di rumah beliau yang sangat sederhana nan menenteramkan, dengan hidangan masakan khas Melayu bikinan istrinya yang cukup terasa bumbunya.
Tetapi gak semua guru mempunyai pemikiran yang cemerlang seperti mereka. Pak Broug misalnya, yang berasal dari ujung barat Indonesia. Beliau sudah cukup puas dengan rutinitas mengajar sehari hari dan langsung mengerjakan urusan pribadi lainnya setelah pulang sekolah. Di usianya yang menjelang pensiun ini, beliau lebih memilih mengurusi usaha dan kebunnya setiap sore, sebagai warisan bagi anak cucunya kelak. Ada juga Pak Hani yang berasal dari Pulau Jawa bagian barat. Hingga saat ini, beliau selalu merasa serba kekurangan untuk membiayai dua anaknya yang sedang kuliah. Gaji dan tunjangan sebesar belasan juta tiap bulan terasa sangat kecil untuk kehidupan sehari-hari keluarganya. Padahal, dia juga rajin mengurus pekerjaan sampingannya ketika tidak mengajar. Rumah tingkatnnyapun terlihat lebih besar dan bagus dibandingkan beberapa rumah di sekitar kanan kirinya. Saat terjadi tsunami di akhir tahun lalu, beliau sedang pulang kampung seminggu untuk urusan pribadinya. Beruntung, dia selamat karna berada agak jauh dari lokasi. Ah, ternyata manusia tempatnya rakus...
Sebagian besar siswa SD ini berasal dari dusun setempat yang mayoritas penduduknya warga Melayu. Tempat ini merupakan satu-satunya dusun yang dihuni oleh orang Melayu, sementara dusun lainnya berasal dari warga lokal. Seperti di daerah Jawa, budaya Gemeinchaft cukup kentara di perkampungan yang lumayan padat ini. Hubungan kekerabatan inilah yang membuat mereka merasa harus sungguh-sungguh dalam mendidik siswa, karena yang mereka didik tidak lain adalah saudara sendiri. Di luar sekolahan, kepala desa cukup memperhatikan pendidikan di desanya. Beliau cukup inovatif dan masih muda. Wajar saja, di akhir tahun kemarin dia terpilih lagi untuk mengawal desa selama satu periode ke depan.
Sebenarnya pemerintah cukup perhatian pada guru-guru di pelosok daerah, dengan memberikan tunjangan tambahan. Harapanya, guru di perkotaan tertarik untuk mengajar ke pelosok sehinggga distribusi guru tidak hanya terpusat di perkotaan saja, tetapi ikut menyebar dan membawa perbaikan di desa desa. Program pengawasanpun juga diberikan mengikuti kebijakan yang ada, agar uang yang digelontorkan dengan jumlah yang tidak sedikit ini benar-benar terlihat manfaatnya. Salah satunya dengan pengawasan langsung oleh masyarakat desa setempat agar para guru rajin mengajar, disiplin, dan paling gak, dia rajin hadir, dan tidak makan gaji buta saja. Tetapi adanya tambahan tunjangan ini tidak serta merta menambah keaktifan guru untuk rajin datang ke sekolah seprti di SD Pak Wanari tadi. Masih banyak abdi negara yang nyaman dengan kehidupan sekarang, nyaman dengan metode pengajaran lama, dan susah move on meninggalkan kebiasaan.
Salah satu kepala sekolah di Jalompe, dimana kesejahteraan para guru akan meningkat dengan penambahan tunjangan khusus di tahun ini, dengan tegas menolak adanya program pengawasan sebagai imbas penambahan tunjangan.“Kalau pemerintah ingin meningkatkan pendapatan kami, itu sudah seharusnya, karna kami dari dulu banting tulang menghidupkan sekolah ini agar anak anak desa bisa sekolah, bisa pintar. Tetapi, jika dengan adanya tunjangan kami harus masuk pagi dan pulang siang, mending pemerintah tidak usah memberi yang muluk-muluk deh. Dua Puluh tahun lebih saya bersusah payah menghidupkan sekolah ini, dari dulu sendirian, dan sampai sekarang sekolah ini cuma diberi beberapa guru PNS saja, mana perhatian pemerintah? Sudah bertahun tahun sekolah saya sangat minim perhatian dari pemerintah”.
Sebenarnya beliau sedikit trauma dengan sekolah sebelah, yang sudah mendapat tunjangan tetapi terjadi konflik antara guru dengan warga setempat karena tidak mau diberikan pengawasan. Teringat sehari sebelumnya ketika saya datang ke sekolah ini jam 9 pagi kurang beberapa menit. Para siswa masih asik bermain, dan hanya ada 2 guru yang sudah datang bersiap siap menunggu jam 9. Secara formal, KBM memang dimulai jam 8 pagi, namun biasanya pak guru masuk jam 9 setiap harinya. Pengakuan semua murid sama ketika saya tanya, kenapa belum diajar guru. Ah,, jawaban polos para siswa memang tidak bisa dibohongi. Mereka masuk jam 9 dan pulang jam 10 setiap harinya. Kadangkala jika gurunya betah, bisa pulang sampai jam stengah 11 atau jam 11 untuk kelas atas. Sementara kepala sekolah jarang hadir karena lebih sering tinggal di Ngabang menempati rumah pribadinya. Sesekali beliau datang ke sekolah menengok rumah dinas di samping kantor guru, yang ditempati oleh anaknya. Anaknyalah yang diberi tugas untuk mengurusi segala urusan di sekolahnya, walaupun tidak ada SK secara resmi. Banyak warga yang segan dengan beliau. Sejak tahun 86 dia sudah mengajar di sekolah ini dan nyaman dengan keadaan sehari-hari, sehingga beberapa kali menolak ketika akan dipindahtugaskan ke sekolah lain, termasuk dipindahkan ke dinas.
Pak Jaly, salah satu orang tua siswa bercerita kepada saya jika beberapa anak terpaksa tidak naik kelas karena ada permasalahan pribadi antara orang tuanya dengan kepala sekolah, termasuk dirinya. “Lebih baik kami diam dan cuek urusan sekolah, daripada anak-anak kami yang terkena imbas, bahkan sampai 2 kali tidak dinaikkan kelas. Padahal nilainya tidak kalah dengan teman kelas lain” katanya. Hidup di sini berpuluh puluh-tahun, membuat kepala sekolah mempunyai lahan yang cukup banyak, baik sawit, karet maupun kebun lain. Ketua komitepun sebenarnya sudah malas menjabat, karena partisipasinya di sekolah hanya sebatas tanda tangan tiap triwulan tanpa ia tahu lebih. Ia lebih suka berhenti jadi komite karena punya tanggungjawab moral yang besar sperti ketika dimintai tandatangan BOS yang tidak pernah ia tahu nilainya.
Di sekolah lain, masih dalam kecamatan yang sama, seorang guru memprotes keras adanya program seperti ini. Guru ini memperoleh beasiswa dari pemda, hingga bisa kuliah di Jawa sampai tahapan sarjana. Dua tahun terakhir dia ditugaskan untuk mengajar di sekolah ini dengan statusnya sebagai guru garda depan. Dia ingin, agar pengawasan seperti ini segera dihentikan, karena terlalu banyak prrmasalahan yang terjadi di sekolah. "Program ini terlalu banyak masalah, terlalu banyak konflik, makanya harus secepatnya dihentikan. Tetapi tunjangan untuk guru-guru harus tetap berjalan sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada guru, karena selama ini para guru mempunyai pendapatan yang tidak layak, sementara tugas yang diembannya cukup besar”, ucapnya sambil mencontohkan salah satu sekolah tadi yang sedang berkonflik dengan warga setempat. Tanpa beliau tahu, ketika berbincang dengan beberapa siswa dan orang tua, banyak yang mengatakan jika guru ini jarang hadir di sekolah. Rumahnya berada di Pontianak, dan masih sering berada di sana, sehingga hanya beberapa kali saja dalam seminggu dia datang ke sekolah.
Di kecamatan sebelahnya yang menjadi ibukota kecamatan di Kabupaten ini, saya bertemu dengan seorang kepala sekolah dengan pemikiran dan cara kerja yang sudah terbuka. Setahun menjabat sebagai kepala sekolah di SD yang harus ditempuh selama 2 jam dari kota ini, beliau berkeinginan untuk memperbaiki manajemen di sekolahan. Selama ini cukup amburadul tanpa ada sistem yang tertata rapi. Namun, satu tahun menjabat sebagai kepala sekolah ternyata tidak bisa meyakinkan para guru, karena ada 2 guru senior yang tidak mau diatur oleh kepala sekolah sekalipun, dan sering memprovokasi guru lain agar ikut mendukung pendapatnya. Pertama kali saya ke sana, dua guru yang tinggal di rumah dinas ini tidak masuk dan sedang berada di kota kabupaten entah untuk urusan apa, sementara para siswa hanya sekedar masuk tanpa apa pembelajaran akibat ditinggal gurunya untuk keperluan pribadi. “Mungkin mereka lebih mementingkan gaji, daripada sekedar kebiasaan mengajar yang hanya menjadi rutinitas harian saja. Hal seperti ini sudah sering terjadi”, kata guru honor yang masih rajin masuk mengajar para siswa setiap harinya. Sampai sekarang, kepsek hanya pasrah dan menunggu mereka yang satu dua tahun lagi pensiun tanpa bisa berbuat banyak.
Di polosok desa lainnya, dengan pusat kecamatannya yang sekaligus menjadi ibukota kabupaten ini, ternyata kondisinya tidak jauh berbeda. Ada salah satu sekolah yang hanya ada satu guru PNS yang standby mengajar, ditemani oleh semua guru honor yang rajin masuk setiap harinya. Sementara guru PNS lain jarang hadir ke sekolah, termasuk juga kepala sekolah. Ah,, hal yang mirip lagi-lagi kutemui. Kepala sekolah yang hanya datang beberapa kali dalam seminggu, bahkan ada juga PNS yang hanya pernah datang dalam hitungan jari selama tahun ajaran ini, kata beberapa guru yang takut jika info ini diketahui oleh atasannya dan memilih untuk diam. Jam sepuluh, orang tua sudah menunggu di depan halaman sekolah untuk menjemput anak-anak mereka, sebagai alasan para guru bahwa kegiatan KBM sudah harus diselesaikan. Memang benar, jika anak-anak rumahnya cukup jauh dari sekolah sehingga banyak yang dijemput, tetapi kebiasaan pulang lebih awal adalah hal buruk yang selalu diulang-ulang setiap harinya. Sementara mereka mempunyai jatah jam mengajar yang sudah ditentukan oleh dinas setiap minggunya.
Sudah kuhapal, setiap guru dan kepala sekolah yang malas selalu saja memprotes kedatangan kami karna tidak diberitahukan sebelumnya. Mereka beralasan hanya untuk menutupi ketidakdisiplinan guru bahkan dia sendiri agar terlihat rajin dan lengkap ketika kami datang. Tapi itulah makud kedatangan kami, agar kami bisa tahu keadaan yang sebenarnya di lapangan, seberapa semangat para guru bersedia mengajar dan membagikan ilmu kepada anak anak cemerlang di pelosok nengri ini. Apalah saya, hanya seorang petugas suruhan yang punya semangat tinggi untuk melihat suasana pendidikan di pelosok negri, memastikan agar mereka mendapatkan hak belajar dengan baik tanpa korupsi waktu yang mungkin sudah merajalela tanpa dirasa, tanpa dimengerti, termaklumi, bahkan mungkin sudah menjadi adat, budaya, dan tradisi. Jika saja, orang dinas rajin blusukan ke sekolah sekolah secara langsung dan menegur setiap guru yang rajin mangkir mengajar, tentunya mereka akan berubah sedikit demi sedikit. minimal mereka malu ketika ada sidak dari dinas, dan sedang asyik di rumah, sementara para siswa sudah menunggu ilmunya di ruang kelas.
Ternyata, tunjangan terpencil yang digelontorkan pemerintah lebih dari dua trilyun per tahun ini belum signifikan untuk meningkatkan kesadaran guru agar lebih giat lagi dalam mengajar. Semua kembali lagi ke pemerintah, apakah akan tetap memberikan tunjangan tanpa merubah kedisiplinan guru, yang tentunya hanya mensejahterakan ekonomi guru semata, atau membuat model pengawasan yang tentunya membutuhkan biaya yang besar pula. Tetapi, pilihan tengah, yaitu dengan pengawasan dengan minim, tidak hanya dari bentuk kegiatan, tetapi juga anggaran, bukanlah hal yang terbaik, dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan sekolah tanpa pengawasan.
'nama dan lokasi sengaja disamarkan layaknya bunga desa dalam novel nusantara, kecuali keadaan yang benar adanya tanpa rekayasa'.
Keceriaan Siswa SD pelosok di Kalimantan |
Setengah jam kemudian semua guru sudah berada di sekolah, karena kegiatan belajar mengajar baru dimulai ketika jam delapan teng. Di kabupaten ini, hampir semua sekolah di pelosok desa baru memulai KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pukul delapan pagi walaupun ada beberapa sekolah yang sudah memulai sebelumnya, tetapi hal seperti ini sulit untuk ditemui. Alasan geografis, lokasi guru yang jauh dari sekolah, cuaca, akses menuju sekolah, termasuk kondisi perekonomian keluarga (tepatnya kurangnya perhatian orang tua terhadap anak) membuat beberapa siswa harus membantu kegiatan orang tua sebelum mereka berangkat ke sekolah. Karena itulah, di kabupaten ini masih tetap memberlakukan kegiatan KBM selama 6 hari, bukan 5 hari seperti di beberapa daerah lain.
Ah… memoriku sedikit mengingat kembali, flasback suasana setahun yang lalu ketika aku mengunjungi lokasi yang sama…
----------------------------------------------------------------------
Di tempat yang sama seperti setahun lalu itu, mataku masih saja melihat keadaan sekeliling sekolah yang masih sama. Nyaris tanpa ada beda. Tidak ada perubahan dengan keadaan sekolah yang terlihat bersih dan lumayan terawat dibanding beberapa sekolah lainnya. Biasanya, di sore hari halaman sekolah dimanfaatkan oleh warga setempat untuk menjemur padinya. Sama seperti tahun lalu, saya datang disaat musim ngetam tiba, dimana warga sibuk mengetam padinya yang hanya bisa tumbuh sekali dalam setahun. Mereka menyebutnya dengan padi gunung. Senang rasanya bisa berjumpa kembali dengan beberapa abdi bangsa di sana yang masih semangat membagikan ilmu kepada anak didik dengan gigih. Beberapa guru di sini berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Banten, Aceh dan sudah berpuluh-puluh tahun menjadi warga setempat sebagai pilihan jalan hidupnya.
Pak Wanari, merupakan seorang kepala sekolah yang open minded dan sangat terbuka kepada semua orang. Dia selalu berprinsip bahwa untuk dapat dipercaya oleh masyarakat, maka keterbukaan adalah hal yang utama tanpa harus ditutup-tutupi di dalam segala hal. Itulah kenapa beliau masih saja dipercaya untuk memimpin sekolah sampai sekarang, setelah kepala sekolah lama yang berasal dari Jogja pensiun beberapa tahun lalu. Beliau meneruskan tongkat kepengurusan ini tanpa pamrih, meskipun jabatannya hanya sebagai plt tanpa dapat tunjangan kepala sekolah yang seharusnya diterima. Maklum, golongannya belum menenuhi syarat untuk diangkat menjadi kepala sekokah, karna waktu itu dia melamar pns dengan ijasah SMA, walaupun sebenarnya dia sudah punya ijasah S1.
Dikala hampir semua sekolah meliburkan KBM di hari Sabtu ketika ada pertemuan KKG yang rutin diselenggarakan tiap 2 minggu sekali, beliau mempunyai kebijakan lain. Di sekolahnya, siswa diharuskan masuk walapun hanya bisa belajar dari jam delapan sampai setengah sepuluh. Setelah itu semua guru baru berangkat mengikuti kegiatan KKG. Biasanya baru dimulai jam sepuluh pagi, jika tidak molor agak siang. Dia tidak ingin siswanya kehilangan hak belajar mereka. Bayangkan saja, siswa di sini dan berbagai kecamatan lain harus kehilangan waktu belajar dua kali setiap bulan karena adanya KKG. Bukan karena kegiatannya, tetapi kebijakan kepala sekolah yang meliburkan siswa di waktu KKG membuat siswa dengan senang kehilangan hak mereka untuk memperoleh ilmu di sekolah. Lokasi KKG yang jauh atuapun rumah para guru yang jauh, membuat mereka memutuskan untuk meliburkan siswa setiap kegiatan KKG tiba. Ah, saya jadi bisa main ke sekolahan, melihat kegiatan dan belajar bersama dengan para siswa di Sabtu ini yang tetap masuk setengah hari.
Pernah suatu ketika saya melihat langsung Pak Wanari menegur aparat desa yang datang ke sekolah untuk menemui salah satu guru ketika masih mengajar, karena ternyata mereka datang bukan untuk urusan sekolah melainkan urusan desa yang lain, yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Beliau menegur dengan santun tanpa menyinggung perasaan. Seperti guru-guru yang lain, hampir semua guru di sini mempunyai pekerjaan sampingan di luar mengajar seperti mengurus lahan karet atau sawit. Di luar kegiatan sekolah, Pak Wanari mempunyai toko kelontong yang terletak di pusat desa dan selalu ramai setiap harinya dengan perbagai stok perabot rumah tagga lengkap termasuk pakaian sehari-hari. Ia menghabiskan waktu menjaga toko ketika tidak mengurus kegiatan sekolah. Sesekali, beliau bercocok tanam menanam sayur di pinggiran kebun sawitnya yang lumayan luas.
Ada juga Pak Jojon, guru penyabar yang selalu menerima tugas tanpa pamrih. Dua tahun terakhir beliau ditunjuk sebagai wali kelas 6, sebagai ujung tombak kelulusan dan juga pertaruhan baik-buruk sekolah di mata dinas. Jika ada siswa yang tidak naik kelas, otomatis wali kelas 6 harus menanggung malu, disamping kepala sekolah yang juga ikut andil dalam hubungan kriteria kegagalan suatu sekolah. Pak Jojon pernah bercerita bahwa sebenarnya lebih mudah mengajar kelas rendah, apalagi kelas menengah yang sudah punya modal membaca dan mengenal huruf, sehingga cukup mengajar seperti biasa tanpa harus capek-capek memberikan les tambahan sepulang sekolah, agar siswa lulus seratus persen. Namun, apapun yang ditugaskan oleh beliau harus dijunjung dengan iklas, suka rela, demi pendidikan di desanya yang lebih baik lagi. Kepala sekolah merasa bahwa beliaulah satu satunya guru yang paling dipercaya untuk membimbing dan meningkatkan pengetahuan siswa dengan maksimal. Selain mengajar, beliau juga diberi tugas tambahan mengurusi anggaran sekolah dari dana BOS, karena dia guru yang bisa menggunakan komputer dibanding guru PNS lain yang sudah sepuh. di luar sekolah beliau juga sebagai ketua KKG rayon ini, sehingga setiap pertemuan KKG, dialah yang merancang serta menjadwalkan kegiatan setiap bulannya.
Dengan adanya tunjangan khusus ini, beliau merasa sangat bersyukur, karena secara tidak langsung pemerintah ikut memperhatikan guru guru yang ada di remot area ini. Sekarang ini, jika ditotal dalam sebulan rata rata dia memperoleh pendapatan belasan juta dari gaji yang ia terima sebagai seorang guru. Belum lagi usaha lain seperti kebun sawit serta penggilingan padi yang ia kelola di rumah. Namun rumah yang ia tempati bukanlah rumah pribadi, melainkan rumah dinas sekolahan yang sudah ia diami selama beberapa tahun. Selama ini, ia fokus untuk menyekolahkan anak anaknya sampai kuliah. Anak bungsunya masih kelas satu SMA di Pontianak, sementara dua kakaknya sudah selesai kuliah. Suatu saat dia ingin membangun rumah kecil kecilan, sebagai bekal pensiun nanti, karena setelah pensiun, otomatis dia akan mengembalikan rumah milik negara yang masih dia tempati sekarang ini.
Ada dua keinginan besar yang ingin beliau wujudkan beberapa tahun ke depan setelah pemilu ini, karena saat ini dia juga masih sibuk mengurusi pemilu sebagai ketua KPPS di daerahnya. Di usianya yang hampir kepala lima, dia masih ingin meningkatkan golongannya menjadi 4B. Saya sendiri belum pernah menemui golongan seperti itu bercokol di sekolah SD yang pernah saya kunjungi. Persyaratan yang cukup menyulitkan seperti tugas bikin karya ilmiah, membuat guru guru nyaman berada di level 4A di usianya yang tinggal pensiun beberapa tahun lagi. Penguasaan teknologi, seperti kurang familiar dengan laptop atau computer membuat guru-guru senior terlalu gagap untuk menyelesaikan tugas memakai komputer yang masih grotal gratul ini.
Keinginan beliau yang satunya adalah lanjut kuliah S2. Apresiasi yang luar biasa dari dalam hati saya melihat kegigihan guru di pelosok seperti ini, yang masih mempunyai ambisi untuk mencari ilmu lebih luas lagi. Dari berdua cerita sampai larut malam waktu itu, saya yakin keinginannya bukanlah sekedar untuk meningkatkan pangkat atau golongan, mengingat usia dan golongannya sudah termasuk taraf yang mapan dan aman.
Ah… sangat betah rasanya berada di rumah beliau yang sangat sederhana nan menenteramkan, dengan hidangan masakan khas Melayu bikinan istrinya yang cukup terasa bumbunya.
Tetapi gak semua guru mempunyai pemikiran yang cemerlang seperti mereka. Pak Broug misalnya, yang berasal dari ujung barat Indonesia. Beliau sudah cukup puas dengan rutinitas mengajar sehari hari dan langsung mengerjakan urusan pribadi lainnya setelah pulang sekolah. Di usianya yang menjelang pensiun ini, beliau lebih memilih mengurusi usaha dan kebunnya setiap sore, sebagai warisan bagi anak cucunya kelak. Ada juga Pak Hani yang berasal dari Pulau Jawa bagian barat. Hingga saat ini, beliau selalu merasa serba kekurangan untuk membiayai dua anaknya yang sedang kuliah. Gaji dan tunjangan sebesar belasan juta tiap bulan terasa sangat kecil untuk kehidupan sehari-hari keluarganya. Padahal, dia juga rajin mengurus pekerjaan sampingannya ketika tidak mengajar. Rumah tingkatnnyapun terlihat lebih besar dan bagus dibandingkan beberapa rumah di sekitar kanan kirinya. Saat terjadi tsunami di akhir tahun lalu, beliau sedang pulang kampung seminggu untuk urusan pribadinya. Beruntung, dia selamat karna berada agak jauh dari lokasi. Ah, ternyata manusia tempatnya rakus...
Sebagian besar siswa SD ini berasal dari dusun setempat yang mayoritas penduduknya warga Melayu. Tempat ini merupakan satu-satunya dusun yang dihuni oleh orang Melayu, sementara dusun lainnya berasal dari warga lokal. Seperti di daerah Jawa, budaya Gemeinchaft cukup kentara di perkampungan yang lumayan padat ini. Hubungan kekerabatan inilah yang membuat mereka merasa harus sungguh-sungguh dalam mendidik siswa, karena yang mereka didik tidak lain adalah saudara sendiri. Di luar sekolahan, kepala desa cukup memperhatikan pendidikan di desanya. Beliau cukup inovatif dan masih muda. Wajar saja, di akhir tahun kemarin dia terpilih lagi untuk mengawal desa selama satu periode ke depan.
Sebenarnya pemerintah cukup perhatian pada guru-guru di pelosok daerah, dengan memberikan tunjangan tambahan. Harapanya, guru di perkotaan tertarik untuk mengajar ke pelosok sehinggga distribusi guru tidak hanya terpusat di perkotaan saja, tetapi ikut menyebar dan membawa perbaikan di desa desa. Program pengawasanpun juga diberikan mengikuti kebijakan yang ada, agar uang yang digelontorkan dengan jumlah yang tidak sedikit ini benar-benar terlihat manfaatnya. Salah satunya dengan pengawasan langsung oleh masyarakat desa setempat agar para guru rajin mengajar, disiplin, dan paling gak, dia rajin hadir, dan tidak makan gaji buta saja. Tetapi adanya tambahan tunjangan ini tidak serta merta menambah keaktifan guru untuk rajin datang ke sekolah seprti di SD Pak Wanari tadi. Masih banyak abdi negara yang nyaman dengan kehidupan sekarang, nyaman dengan metode pengajaran lama, dan susah move on meninggalkan kebiasaan.
Salah satu kepala sekolah di Jalompe, dimana kesejahteraan para guru akan meningkat dengan penambahan tunjangan khusus di tahun ini, dengan tegas menolak adanya program pengawasan sebagai imbas penambahan tunjangan.“Kalau pemerintah ingin meningkatkan pendapatan kami, itu sudah seharusnya, karna kami dari dulu banting tulang menghidupkan sekolah ini agar anak anak desa bisa sekolah, bisa pintar. Tetapi, jika dengan adanya tunjangan kami harus masuk pagi dan pulang siang, mending pemerintah tidak usah memberi yang muluk-muluk deh. Dua Puluh tahun lebih saya bersusah payah menghidupkan sekolah ini, dari dulu sendirian, dan sampai sekarang sekolah ini cuma diberi beberapa guru PNS saja, mana perhatian pemerintah? Sudah bertahun tahun sekolah saya sangat minim perhatian dari pemerintah”.
Sebenarnya beliau sedikit trauma dengan sekolah sebelah, yang sudah mendapat tunjangan tetapi terjadi konflik antara guru dengan warga setempat karena tidak mau diberikan pengawasan. Teringat sehari sebelumnya ketika saya datang ke sekolah ini jam 9 pagi kurang beberapa menit. Para siswa masih asik bermain, dan hanya ada 2 guru yang sudah datang bersiap siap menunggu jam 9. Secara formal, KBM memang dimulai jam 8 pagi, namun biasanya pak guru masuk jam 9 setiap harinya. Pengakuan semua murid sama ketika saya tanya, kenapa belum diajar guru. Ah,, jawaban polos para siswa memang tidak bisa dibohongi. Mereka masuk jam 9 dan pulang jam 10 setiap harinya. Kadangkala jika gurunya betah, bisa pulang sampai jam stengah 11 atau jam 11 untuk kelas atas. Sementara kepala sekolah jarang hadir karena lebih sering tinggal di Ngabang menempati rumah pribadinya. Sesekali beliau datang ke sekolah menengok rumah dinas di samping kantor guru, yang ditempati oleh anaknya. Anaknyalah yang diberi tugas untuk mengurusi segala urusan di sekolahnya, walaupun tidak ada SK secara resmi. Banyak warga yang segan dengan beliau. Sejak tahun 86 dia sudah mengajar di sekolah ini dan nyaman dengan keadaan sehari-hari, sehingga beberapa kali menolak ketika akan dipindahtugaskan ke sekolah lain, termasuk dipindahkan ke dinas.
Pak Jaly, salah satu orang tua siswa bercerita kepada saya jika beberapa anak terpaksa tidak naik kelas karena ada permasalahan pribadi antara orang tuanya dengan kepala sekolah, termasuk dirinya. “Lebih baik kami diam dan cuek urusan sekolah, daripada anak-anak kami yang terkena imbas, bahkan sampai 2 kali tidak dinaikkan kelas. Padahal nilainya tidak kalah dengan teman kelas lain” katanya. Hidup di sini berpuluh puluh-tahun, membuat kepala sekolah mempunyai lahan yang cukup banyak, baik sawit, karet maupun kebun lain. Ketua komitepun sebenarnya sudah malas menjabat, karena partisipasinya di sekolah hanya sebatas tanda tangan tiap triwulan tanpa ia tahu lebih. Ia lebih suka berhenti jadi komite karena punya tanggungjawab moral yang besar sperti ketika dimintai tandatangan BOS yang tidak pernah ia tahu nilainya.
Di sekolah lain, masih dalam kecamatan yang sama, seorang guru memprotes keras adanya program seperti ini. Guru ini memperoleh beasiswa dari pemda, hingga bisa kuliah di Jawa sampai tahapan sarjana. Dua tahun terakhir dia ditugaskan untuk mengajar di sekolah ini dengan statusnya sebagai guru garda depan. Dia ingin, agar pengawasan seperti ini segera dihentikan, karena terlalu banyak prrmasalahan yang terjadi di sekolah. "Program ini terlalu banyak masalah, terlalu banyak konflik, makanya harus secepatnya dihentikan. Tetapi tunjangan untuk guru-guru harus tetap berjalan sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada guru, karena selama ini para guru mempunyai pendapatan yang tidak layak, sementara tugas yang diembannya cukup besar”, ucapnya sambil mencontohkan salah satu sekolah tadi yang sedang berkonflik dengan warga setempat. Tanpa beliau tahu, ketika berbincang dengan beberapa siswa dan orang tua, banyak yang mengatakan jika guru ini jarang hadir di sekolah. Rumahnya berada di Pontianak, dan masih sering berada di sana, sehingga hanya beberapa kali saja dalam seminggu dia datang ke sekolah.
Di kecamatan sebelahnya yang menjadi ibukota kecamatan di Kabupaten ini, saya bertemu dengan seorang kepala sekolah dengan pemikiran dan cara kerja yang sudah terbuka. Setahun menjabat sebagai kepala sekolah di SD yang harus ditempuh selama 2 jam dari kota ini, beliau berkeinginan untuk memperbaiki manajemen di sekolahan. Selama ini cukup amburadul tanpa ada sistem yang tertata rapi. Namun, satu tahun menjabat sebagai kepala sekolah ternyata tidak bisa meyakinkan para guru, karena ada 2 guru senior yang tidak mau diatur oleh kepala sekolah sekalipun, dan sering memprovokasi guru lain agar ikut mendukung pendapatnya. Pertama kali saya ke sana, dua guru yang tinggal di rumah dinas ini tidak masuk dan sedang berada di kota kabupaten entah untuk urusan apa, sementara para siswa hanya sekedar masuk tanpa apa pembelajaran akibat ditinggal gurunya untuk keperluan pribadi. “Mungkin mereka lebih mementingkan gaji, daripada sekedar kebiasaan mengajar yang hanya menjadi rutinitas harian saja. Hal seperti ini sudah sering terjadi”, kata guru honor yang masih rajin masuk mengajar para siswa setiap harinya. Sampai sekarang, kepsek hanya pasrah dan menunggu mereka yang satu dua tahun lagi pensiun tanpa bisa berbuat banyak.
Di polosok desa lainnya, dengan pusat kecamatannya yang sekaligus menjadi ibukota kabupaten ini, ternyata kondisinya tidak jauh berbeda. Ada salah satu sekolah yang hanya ada satu guru PNS yang standby mengajar, ditemani oleh semua guru honor yang rajin masuk setiap harinya. Sementara guru PNS lain jarang hadir ke sekolah, termasuk juga kepala sekolah. Ah,, hal yang mirip lagi-lagi kutemui. Kepala sekolah yang hanya datang beberapa kali dalam seminggu, bahkan ada juga PNS yang hanya pernah datang dalam hitungan jari selama tahun ajaran ini, kata beberapa guru yang takut jika info ini diketahui oleh atasannya dan memilih untuk diam. Jam sepuluh, orang tua sudah menunggu di depan halaman sekolah untuk menjemput anak-anak mereka, sebagai alasan para guru bahwa kegiatan KBM sudah harus diselesaikan. Memang benar, jika anak-anak rumahnya cukup jauh dari sekolah sehingga banyak yang dijemput, tetapi kebiasaan pulang lebih awal adalah hal buruk yang selalu diulang-ulang setiap harinya. Sementara mereka mempunyai jatah jam mengajar yang sudah ditentukan oleh dinas setiap minggunya.
Sudah kuhapal, setiap guru dan kepala sekolah yang malas selalu saja memprotes kedatangan kami karna tidak diberitahukan sebelumnya. Mereka beralasan hanya untuk menutupi ketidakdisiplinan guru bahkan dia sendiri agar terlihat rajin dan lengkap ketika kami datang. Tapi itulah makud kedatangan kami, agar kami bisa tahu keadaan yang sebenarnya di lapangan, seberapa semangat para guru bersedia mengajar dan membagikan ilmu kepada anak anak cemerlang di pelosok nengri ini. Apalah saya, hanya seorang petugas suruhan yang punya semangat tinggi untuk melihat suasana pendidikan di pelosok negri, memastikan agar mereka mendapatkan hak belajar dengan baik tanpa korupsi waktu yang mungkin sudah merajalela tanpa dirasa, tanpa dimengerti, termaklumi, bahkan mungkin sudah menjadi adat, budaya, dan tradisi. Jika saja, orang dinas rajin blusukan ke sekolah sekolah secara langsung dan menegur setiap guru yang rajin mangkir mengajar, tentunya mereka akan berubah sedikit demi sedikit. minimal mereka malu ketika ada sidak dari dinas, dan sedang asyik di rumah, sementara para siswa sudah menunggu ilmunya di ruang kelas.
Ternyata, tunjangan terpencil yang digelontorkan pemerintah lebih dari dua trilyun per tahun ini belum signifikan untuk meningkatkan kesadaran guru agar lebih giat lagi dalam mengajar. Semua kembali lagi ke pemerintah, apakah akan tetap memberikan tunjangan tanpa merubah kedisiplinan guru, yang tentunya hanya mensejahterakan ekonomi guru semata, atau membuat model pengawasan yang tentunya membutuhkan biaya yang besar pula. Tetapi, pilihan tengah, yaitu dengan pengawasan dengan minim, tidak hanya dari bentuk kegiatan, tetapi juga anggaran, bukanlah hal yang terbaik, dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan sekolah tanpa pengawasan.
'nama dan lokasi sengaja disamarkan layaknya bunga desa dalam novel nusantara, kecuali keadaan yang benar adanya tanpa rekayasa'.
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan pembaca berkomentar dengan santun untuk memberikan saran dan masukan kepada kami, terimakasih.