Bagiku, Gunung Lawu bukanlah suatu gunung yang asing karena masih berada di zona yang gak terlalu jauh untuk dijamah. Berada di wilayah Jawa Tengah tentu membuat biaya menjadi cukup terjangkau dengan kantong kita (gue kale) yang pas-pasan. Yah… begitulah, kira-kira saat ini, tapi sangat berbeda kondisinya ketika saya masih SMA dulu. Lawu adalah gunung yang pertama kali saya daki saat kelas 3 SMA. Mempunyai lingkungan teman anak-anak sispala membuatku sering diajak ketika mereka mendaki gunung, termasuk berbagai kegiatan outdoor lainnya… walaupun saya tak tergabung di dalamnya.
Begitu ceritanya mengapa saya bisa mendaki gunung yang lumayan tinggi ini. Sebagai seorang yang cukup antusias di kegiatan outdoor, saya cukup bersemangat ketika temen-temen sispala mengajakku naik Lawu sepulang sekolah. Waktu itu kami berangkat dari sekolahan di Sabtu siang. Sepulang sekolah kami langsung cabut cari bis ke arah Solo. Asal kalian tahu aja, kami berangkat dengan seragam SMA untuk menghemat ongkos transport. Dengan seragam sekolah, kita akan membayar biaya bis setengah dari harga umum tanpa ditanyakan identitas macam-macam sama kondektur. Kalau kalian ingin ngirit, coba deh, ikutin cara saya waktu SMA dulu…
Pendakian tektok pertama kali tentu gak pernah saya lupakan, merasakan kenangan alangkah dinginnya suasana malam di Gunung ini. Apalagi, waktu itu kami tidur di pinggir jalan setapak dengan tutup selimut yang dipakai bersamaan. Maklum, anak-anak sudah terlalu kecapekan dan tidak ada satupun yang merelakan tenaganya buat mendirikan tenda. Sungguh sia-sia kami bawa tenda sampai ke puncak tanpa kepake sama sekali. Tetapi yang masih menjadi kenangan adalah poto kami di puncak dengan seragam SMA yang tidak akan pernah saya dapatkan lagi, dan itu merupakan satu-satunya kenangan berfoto di puncak dengan seragam sekolah. Jarang-jarang anak SMA muncak gunung pake seragam, gak ada gurunya juga di sana… Yah, minimal itu sebuah wujud anak muda jaman dulu buat mengekspresikan suatu kegembiraan dan berita bahagia, bukan begitu?
Sampai sekarang, sudah sekitar 4 kali saya menjamah gunung Lawu ini walau sebatas mengenal jalur Cemoro Sewu, jalur yang paling umum dan paling dikenal bagi para pendaki. Layaknya Slamet via Bambangan, Sindoro-Sumbing via Garung, Merbabu via Wekas, Merapi via Selo, atau Ungaran via Mawar. Pernah juga sesekali lewat jalur Cemoro Kandang, karena ingin menikmati sate kelinci sehabis pendakian. Ceritanya, sekitar lima tahun yang lalu saya bersama teman-teman main ke Candi Cetho, sehabis menikmati suasana kebun teh. Disitu saya melihat beberapa pendaki yang mau muncak via Cetho ini. Tentu suatu saat saya ingin mencoba jalur ini kalau sudah resmi dibuka. Pada saat itu jalur Cetho ini belum dibuka secara resmi, walaupun sudah banyak yang mendaki.
.
Gasss… Lawu Via Candi Cetho
Jika sebelumnya selalu mendaki secara tektok di malam hari, untuk kali ini saya ingin mendaki secara santai. Niat kami dari awal memang untuk menikmati suasana padang sabana dan nge-camp di sana. Makanya, kami melakukan perjalanan ini selama tiga hari, dan hanya melakukan perjalanan di siang hari saja. Dulu saya selalu tektok di setiap pendakian, namun beberapa tahun belakangan ini jarang sekali saya tektok, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah. Habitku sekarang, mendaki buat menikmati suasana, bukan sekedar mencapai puncak seperti ketika SMA dulu. adoh adohhh…
Jalur Candi Cetho merupakan jalur favorit bagi pendaki yang ingin menikmati sabana-nya Lawu, karena tidak akan ditemui di jalur resmi lainnya seperti Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang. Lokasi beskemnya terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Saat menuju ke sini, kita akan disuguhi panorama pemandangan kebun teh di sepanjang perjalanan. Tentu begitu istimewa… bahkan jika berminat, kalian bisa mengunjungi wisata kebun teh di sepanjang perjalanan menuju beskem baik sepulang ataupun sebelum naik. Perlu kalian ketahui, Jalur Lawu via Ceto lumayan panjang lur, karena lokasi beskem berada di ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Kalian hitung sendiri, berapa elevasinya untuk menuju ke puncak Lawu di 3.265 mdpl (cari kalkulator…)
Begitu sampai di beskem, kami istirahat sebentar sambil mempersiapkan kembali semua logistik untuk pendakian. Pak Tarjo menerima para pendaki dengan baik dan ramah, termasuk juga kepada kami ketika sampai lokasi. Bahkan beliau rela membawakan carrier menuju rumahnya saat kami kesulitan untuk mencari tempat parkir. (baik banget yaaa..) waktu itu memang sedang banyak pendaki yang datang dan berkumpul di seputaran tempat parkir. Penyambutan tuan rumah membuat kami nyaman berada di beskem ‘Barokah' ini. Pendakian Lawu kali ini lumayan ramai, karena mayoritas gunung sedang tutup. Bahkan hampir semua gunung tinggi di Jawa Tengah dalam kondisi ditutup, dan cuma Lawu satu-satunya yang resmi dibuka. Maklum, mungkin itu puncaknya musim kemarau, makanya pada kebakaran dimana-mana. Tak lama kemudian kami berangkat menuju ke pos retribusi yang berada di sebelah barat Candi Cetho. Untuk menuju ke pos pendaftaran, kita harus mlipir sedikit lewat samping lokasi Candi Cetho. Sambil berjalan, saya menoleh ke turis yang masuk ke kawasan candi dengan kain jarik yang disarungkan. Nuansanya mirip seperti wisatawan Candi Prambanan atau Borobudur. Ternyata tiket masuk ke Candi Cetho ini masih murah, hampir sama seperti saat aku ke sini lima tahun lalu. Berbeda jauh dengan harga tiket Candi Prambanan atau Borobudur sekarang ini.
Saat registrasi, kami meninggalkan identitas yang akan diambil lagi pada saat turun nanti. Tak lupa, petugas pos jaga menginfokan dengan jelas tentang peraturan pendakian ini baik dari segi jalur, estimasi waktu, maupun larangan-larangan yang tidak boleh kami lakukan selama pendakian. Cuss, langung saja kami memulai perjalanan setelah semua urusan beres. Tak lupa kami berdoa seperti biasa, agar diberi kelancaran selama pendakian hingga kembali ke rumah. Beberapa pendaki terlihat masih istirahat di shelter sebelah pos ketika kami berjalan memutari candi. Jalur awal pendakian memang tidak melalui kawasan candi, dan hanya memutar di sebelah kirinya. Namun, di depan nanti kita akan dapat melihat dengan jelas Candi Kethek yang berada di samping kanan jalur pendakian.
Menuju ke pos 1 (Mbah Branti) 1.705 mdpl
Di awal perjalanan ini kami melewati tiga gapura kecil dari bambu yang cukup mirip dari segi model dan ukuran. Di atasnya tertulis, ‘Pendakian Lawu via Candi Cetho’ terpampang jelas. Setelah itu kami harus melewati lereng jalan memutari sungai, mengikuti jalan yang sudah di-cor seperti anak tangga walaupun hanya beberapa ratus meter saja. Di depan ada sedikit jalur yang dirubah akibat longsor, sehingga kami harus berpindah menuju jalan berbatu. Sekitar 15 menit perjalanan, kita sampai di area Candi Ketek dengan struktur batu yang terlihat sangat kuno melebihi usia Candi Cetho di depan sana. Beberapa lahan milik warga terlihat sepi karena sudah tidak terdapat tanaman yang harus diurus. Dilihat dari bekas tanamannya, sepertinya mereka baru panen dan membiarkannya begitu saja sambil menunggu musim tanam. Lahan tanaman di jalur ini tidak terlalu luas dan kami hanya melewati sebentar saja. Selebihnya berupa semak belukar yang harus kami lalui dengan hati-hati. Pipa-pipa air terlihat menyembul di beberapa lokasi di pinggiran jalur pendakian. Pipa ini berfungsi untuk menyalukan air dari atas, sebagai sebagai sumber air bagi penduduk setempat.
Oh ya, setelah melewati kebun kami istirahat sebentar di kolam yang lumayan lebar. Kolam mini sekitar 10 meter persegi ini baru dibangun dan terlihat belum selesai, dengan material batu yang tersusun rapi di atas dan di bawah kolam. Penyaringannya pun cukup lancar, sehingga air terlihat selalu jernih. Beberapa kepala singa mengeluarkan air melalui mulutnya mengairi kolam ini. Suasana ini sungguh membuat keadaan menjadi segar. Kata seorang teman, kolam tempat kami istirahat ini dibuat oleh pemeritah untuk para peziarah yang ingin mandi, agar mereka segar kembali baik sebelum maupun sesudah ziarah ke atas. Masuk akal juga sih, karena di beberapa sudut kolam terdapat sesajen yang sudah mulai kering. Mungkin ada peziarah yang menaruhnya sekitar 2 atau 3 hari yang lalu, berdoa agar hajat mereka terkabul. Para pendaki yang mulai turun juga cukup banyak. Beberapa dari mereka kemudian beristirahat dan membersihan tubuh dari debu-debu jalanan yang cukup tebal. Jalur Cetho ini memang sering digunakan oleh peziarah menuju ke puncak untuk berdoa di Hargodumilah. Bahkan di setiap pos terdapat kotak besi berwarna hitam yang digunakan untuk menaruh sesajen. Untuk menuju ke pos satu ini, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam perjalan dari titik start. Di pos 1 terdapat bangunan kayu yang ditutupi terpal. Areanya tidak terlalu luas sih, tapi bisa untuk menampung sekitar 5 tenda di sini.
Menuju ke pos 2 (Brakseng) 1.915 mdpl
Perjalanan menuju ke pos 2 ini keadaannya masih mirip dengan sebelumnya, dengan tanah berdebu diselimuti vegetasi yang lumayan rapat. Jalurnya juga cukup landai, membuat perjalanan kami tidak begitu ngos-ngosan. Tidak begitu banyak perbedaan vegetasi di sini dengan jarak tempuh sekitar satu jam, kita akan sampai di pos 2. Namun di pos 2 lokasinya lebih luas dan dapat menampung hingga 20 tenda. Jika kalian lelah, disini terdapat shelter yang cukup nyaman dan luas dibanding pos 1 tadi.
Bagi kalian yang belum pernah melewati jalur ini, pos 2 paling gampang untuk diingat, karena terdapat pohon besar dengan penutup kain yang melilitnya. Suasana di pos 2 memang terkesan mistis, namun di siang hari cukup sejuk, dan semilir angin begitu terasa saat kita beristirahat di bawah pohon besar ini. Walaupun terik matahari menyengat, suasana di sini tidak begitu panas, karena sinarnya tertutup oleh ranting-ranting pohon yang rimbun. Malah terlihat indah ketika sorotnya menyembul di sela-sela dedaunan yang lebat.
Menuju Pos 3 (Cemoro Dowo) 2.230 mdpl
Setelah istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Perjalanan kali ini mulai terasa menanjak dengan jarak tempuh yang lumayan lama, sekitar 90 menit perjalanan untuk sampai di pos berikutnya. Dengan medan tanah yang masih berdebu, kontur tanaman lebih rapat daripada sebelumnya yang didominasi oleh pohon lamtoro di sepanjang perjalanan. Untuk menuju ke pos 3 ini, fisik dan pernafasan harus mulai diatur dengan baik.
Sekitar 10 menit sebelum pos 3 terdapat mata air yang bisa digunakan untuk mengambil air bagi para pendaki. Begitu mendengar kata ‘mata air’ membuat jiwaku bersemangat, karena itu berarti saya bisa memperoleh stok air di atas gunung. Ketika dapat info di pendaftaran mengenai mata air ini, saya membayangkan jika lokasinya terletak agak menyimpang dari jalur dan harus turun, bahkan mungkin sedikit terjal untuk mencapainya. Ternyata dugaanku salah, karena begitu tiba di lokasi saya bisa mendapatkan air dengan mudah di jalur pendakian. Air ini berasal dari kucuran pipa yang sengaja dilubangi, agar para pendaki bisa mengambil dan memanfaatkannya untuk keperluan minum. Kalau ini sih sangat mudah buat mengambilnya, tinggal membuka penutupnya, air sudah bisa mengalir. Modelnya mirip seperti di pos 2 Merbabu via Wekas.
Sebenarnya untuk menuju ke pos 3 hanya butuh berjalan sekitar 10 menit, tetapi kami memutuskan untuk mendirikan tenda disini. Selain karena dekat dengan lokasi air, kami dapat info dari pendaki yang baru turun jika pos sudah penuh dan agak susah jika kami harus nge-camp di sana. Walaupun hari masih terlihat terang, saya langsung mengeluarkan tenda dan memasangnya karena sudah terlalu nyaman berada di sini. Malam ini hanya tenda kami saja yang berdiri kokoh di sini. Sebenarnya lokasinya cukup luas dan bisa menampung lebih dari 10 tenda dengan model bertingkat, tetapi debu di sini cukup tebal, sehingga para pendaki lebih memilih pos 3 sebagai tempat menginap walaupun harus naik-turun ke sini buat ambil air. Memang sih, di pos mata air ataupun pos 3 adalah lokasi yang paling ideal buat istirahat jika kalian akan melakukan pendakian santai selama 3 hari.
Pagi hari (yang agak siang), kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju camp selanjutnya. Benar saja, tidak sampai 10 menit kami sudah tiba di pos 3. Di sini terdapat shelter dari seng untuk istirahat dan beberapa tenda terlihat masih berdiri ditinggal penghuninya yang sedang perjalanan summit ke puncak sejak jam 3 tadi. Sebagian orang masih bersantai, terlihat bercengkerama sambil mengaduk kopi menunggu kawannya yang sedang muncak. Mereka memang tidak berencana ke puncak, cukup menikmati suasana di lokasi camp. Camps site nya juga bertingkat seperti di pos mata air tadi, tetapi tidak terlalu berdebu. Kami hanya sebentar berada di sini, karena tenaga masih full, lanjut ke pos berikutnya.
Menuju ke Pos 4 (Penggik/Ondorante) 2.563 mdpl
Perjalanan selanjutnya katanya perjalanan yang paling susah, karena medannya sangat terjal. Benar juga, saya merasakan jalur yang cukup terjal sepanjang trek yang dilewati. ‘Pelan-pelan saja lur, yang penting napasnya teratur, daripada jalan cepat tetapi nanti terlalu banyak istirahat’. Begitu kata temenku. Saya sendiri masih seperti biasa dan belum terasa lelah karena baru beberapa menit memulai perjalanan.
Di awal perjalanan, vegetasi yang terlihat masih sama dengan sebelumnya, didominasi oleh pohon lamtoro atau kaliandra yang cukup rapat di sekeliling kita. Sesekali vegetasi agak terbuka walau kami tidak dapat melihat sekeliling dengan jelas. Maklum, kabut mulai menyelimuti perjalanan kita kali ini. Jalurnya juga masih sempit dan berdebu. Namun saat akan tiba di pos 4 vegetasi mulai berganti dengan pohon cemoro yang cukup banyak. Dan hampir 2 jam perjalanan, kita sampai di pos 4, terlihat dengan adanya shelter kecil dari seng seperti pos-pos sebelumnya. Camp site di sini tidak terlalu luas, hanya bisa menampung sekitar 3 atau 4 tenda saja. Makanya, jarang yang mendirikan tenda di pos 4 ini.
Menuju ke Pos 5 (Bulak Peperangan) 2.860 mdpl
Setelah istirahat setengah jam lebih, kami melanjutkan perjalanan menuju ke pos 5. Di awal perjalanan masih saja terlihat pohon cemoro, namun setelah beberapa saat kita akan menjumpai pohon edelweis yang lumayan banyak di kanan kiri jalur. Melihat bunga ini, membuat saya semangat, merasakan benar-benar perjalanan di gunung. Jalur ini relatif lebih mudah daripada sebelumnya, walaupun waktu tempuh sedikit lebih lama. Memang sih, karena setelah melewati edelweis, terdapat beberapa bonus, jalur sedikit landai. Tetapi setelah itu kembali menanjak walaupun jalurnya berbentuk zig-zag. Saya sendiri merasakan jika jalur ini lebih susah daripada jalur sebelumnya. Ada sejumlah pohon yang roboh di beberapa tempat yang kita lalui, sehingga kalian harus berhati-hati untuk melompatinya.
Di pertengahan jalan, terdapat dua buah pohon besar di sebelah kanan kita. Jika naik ke kanan melewati pohon tersebut, kita akan melewati jalur lama untuk turun ke bawah, tetapi kami belok ke kiri, karena tujuannya mau ke puncak. Setelah melalui jalur yang zig-zag, kita akan menemui jalur yang landai, bahkan semakin landai menjelang tiba di pos 5. Menuju ke pos 5 ini akan semakin terasa nuansa padang sabananya. Terlihat beberapa sabana kecil di sepanjang jalur. Senang rasanya saat saya melewati beberapa jalur landai ini, karena tidak memerlukan tenaga lebih buat berjalan. Cukup gunakan tenaga buat menikmati suasana alamnya. Tak terasa, perjalanan sudah hampir satu setengah jam. Di sini kita akan menemui pos 5 yang sangat datar. Bahkan, buat mendirikan ratusan tenda di sini sepertinya muat. Jika kalian lewat jalur lain, yaitu jalur Jogorogo, maka akan bertemu dengan jalur Cetho di titik ini. Berbeda dengan pos-pos sebelumnya, di pos ini tidak terdapat shelter untuk berteduh pendaki ketika hujan tiba.
Di pertengahan jalan, terdapat dua buah pohon besar di sebelah kanan kita. Jika naik ke kanan melewati pohon tersebut, kita akan melewati jalur lama untuk turun ke bawah, tetapi kami belok ke kiri, karena tujuannya mau ke puncak. Setelah melalui jalur yang zig-zag, kita akan menemui jalur yang landai, bahkan semakin landai menjelang tiba di pos 5. Menuju ke pos 5 ini akan semakin terasa nuansa padang sabananya. Terlihat beberapa sabana kecil di sepanjang jalur. Senang rasanya saat saya melewati beberapa jalur landai ini, karena tidak memerlukan tenaga lebih buat berjalan. Cukup gunakan tenaga buat menikmati suasana alamnya. Tak terasa, perjalanan sudah hampir satu setengah jam. Di sini kita akan menemui pos 5 yang sangat datar. Bahkan, buat mendirikan ratusan tenda di sini sepertinya muat. Jika kalian lewat jalur lain, yaitu jalur Jogorogo, maka akan bertemu dengan jalur Cetho di titik ini. Berbeda dengan pos-pos sebelumnya, di pos ini tidak terdapat shelter untuk berteduh pendaki ketika hujan tiba.
Menuju camp Gupak Menjangan 2.944 mdpl
Kami berfoto sebentar begitu melihat pemandangan sabana yang bagus ini. Jika lewat jalur ini, kalian tidak akan menemukan pemandangan yang menarik sebelumnya. Tetapi pemandangan-pemandangan indah akan kalian jumpai begitu menuju pos 5 hingga puncak. Berbeda dengan jalur di bawah tadi, perjalanan kali ini tidak begitu banyak debu yang harus kami lalui. Senang sekali rasanya, bisa melewati trek dengan pemandangan yang sangat indah ini. Jalurnyapun cukup landai, sehingga kami dapat dengan santai berjalan tanpa ngos-ngosan. Terlihat bukit yang menjulang tinggi dengan batu-batu besar yang menempel di sebelah kanan dan kiri jalur ketika perjalanan awal dari pos 5 ini. Pohon pinus tumbuh begitu kokohnya menutupi bukit tersebut, walaupun terlihat agak gersang di musim kemarau ini.
perjalanan dari Pos 5 menuju Gupak Menjangan |
Selanjutnya akan mulai terlihat padang sabana yang terhampar begitu luas di depan kami. Tanah datar yang sangat luas ini sebenarnya cukup sayang untuk dilewatkan begitu saja, namun terik matahari yang begitu panas membuat kami tidak bisa berlama-lama, takut kulit menjadi gosong. Beberapa pendaki terlihat bersantai dan mendirikan tenda. Mungkin mereka ingin menikmati pemandangan sabana di malam hari sehingga memutuskan untuk mendirikan tenda di situ. Perjalanan menuju Gupakan Menjangan tidak terlalu lama, hanya 30 menit perjalanan kami sudah tiba. Keadaan alam di sekeliling kami yang membuat mata terpesona, menjadikan perjalanan pendek ini terasa begitu cepat. Ah, ternyata lokasi di Gupak menjangan lebih syahdu lagi, didominasi oleh pohon pinus yang cukup rimbun, membuat lokasi begitu favorit untuk dijadikan camp bagi para pendaki.
Gupak Menjangan
Terik matahari masih panas dan cahaya masih terlihat terang di atas sana ketika kami tiba di Gupakan Menjangan. Walauapun begitu, kami tidak ingin melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Cukup sampai di sini saja perjalanan hari ini, karena kami ingin rebahan dahulu sambil menikmati indahnya sabana yang terbentang luas di depan kami. Sabana ini terbelah oleh jalur pendakian yang berada di tengah-tengahnya. Saya langsung meletakkan carrier di bawah pohon pinus, lalu berjalan ke arah sabana untuk menikmati suasana. Di sebelah kiri terdapat bukit yang ditumbuhi oleh pohon pinus, sementara di sebelah kanan masih saja terlihat padang sabana yang cukup luas. Beberapa pendaki terlihat sedang berjalan melewati jalur, membelah sabana hingga ujungnya, lalu berbelok sedikit ke kiri memutari bukit hingga samar-samar mereka menghilang.
Saya masih saja duduk di semak-semak yang terlindungi oleh awan, mengobrol dengan kawan sependakian, sementara beberapa teman yang lain sedang hunting foto di tengah sabana. Ketika hujan tiba, sabana yang berupa cekungan di depan saya duduk ini akan menjadi danau kecil dengan diameter sekitar 100-an meter persegi. Namun hanya beberapa jam setelah hujan reda, air kembali surut masuk ke dalam tanah. Pendaki yang beruntung dapat mengabadikannya seperti Ranu Kumbolo di Semeru versi mini. Katanya sih tempat ini dulu buat minum binatang yang ada di sekitaran sini dikala tergenang air. Salah satunya adalah menjangan, makanya lokasinya disebut gupak menjangan. Cukup lama kami bersantai bersama beberapa pendaki semenjak tadi, tanpa terasa cuaca hampir gelap. Saya bergegas untuk mendirikan tenda yang terletak di ujung, agar tidak terlalu berisik dan mengganggu pendaki lain, karena kami bawa genset yang selalu menggelegar tiap malam (hehehe). Sudah ada sekitar 10 tenda yang berdiri di sekitaran kami saat ini, dan tentunya akan semakin bertambah banyak sampai malam nanti. Hawa di luar tenda cukup dingin, saatnya saya masuk dan bergantian dengan teman yang siap-siap untuk memasak. Bagi kalian yang mendaki Lawu ini, jangan lupa bawa jaket karena cuaca di sini sangat dingin.
Menuju Hargo Dalem 3.152 mdpl
Awalnya sih saya sama sekali tidak ada niatan buat summit ke puncak, karena sudah pernah ke sana beberapa kali meskipun lewat jalur yang berbeda. Namun pagi ini keinginan saya berubah, karena sudah cukup lama saya tidak merasakan puncak Lawu ini. Sekitar jam 8 pagi akhirnya kami semua berangkat dari tenda memulai perjalanan summit. Dalam perjalanan kali ini, karena kami hanya membawa beberapa keperluan summit saja, sementara yang lain kami tinggal di tenda. Setelah melewati padang sabana, kami sedikit memutari bukit ke sebelah kiri. Pohon cantigi mulai terlihat menggantikan sabana yang luas tadi. Tak begitu lama kita akan menemukan Pasar Dieng atau Pasar Setan, begitu melihat pecahan-pecahan bebatuan di sepanjang jalur. Di sini terdapat bekas bangunan kuno yang sudah runtuh dan tangga batu yang tertata rapi di tengah-tengah.
Kami tidak mengikuti tangga batu tersebut, tetapi memilih untuk berbelok melewati jalan sebelah kiri. Jalan sebelah kiri ini relatif lebih cepat dan sepi, namun jalurnya cukup sempit. Ketika berpapasan dengan pendaki lain kami harus bergantian, membuat perjalanan cukup lama. Hari itu cukup ramai pendaki yang melewati jalur ini, karena pas hari Minggu. Tak beberapa lama, rumah seng mulai terlihat berjajar di depan sana. Bagi para pendaki, tempat ini tidaklah asing, yang terkenal dengan sego pecelnya. Banyak yang bilang, jika warung Mbok Yem merupakan warung tertinggi di Indonesia karena lokasinya yang berada di atas gunung. Namun begitu, sebenarnya ada beberapa warung di sekitarnya yang juga melayani para pendaki di saat ramai. Bedanya, warung Mbok Yem akan selalu buka setiap saat, dan bilau hanya turun pada saat lebaran.
Cari minuman hangat dulu sebelum muncak, biar badan seger dan bugar...
Cari minuman hangat dulu sebelum muncak, biar badan seger dan bugar...
Menuju Puncak Hargo Dumilah 3.265 mdpl
Menuju ke puncak tertinggi Lawu membutuhkan waktu sekitar setengah jam dari warung Mbok Yem ini. Kami memilih untuk lewat jalur yang sepi agar tidak terlalu banyak menghirup debu. Waktu sudah agak siang, tetapi masih banyak pendaki yang ingin menuju ke puncak membuat jalan utama cukup berdebu. Kami melewati jalur di samping rumah Mbok Yem dan melewati jalur sepi. Jalur ini lebih cepat daripada jalur utama, dan sepanjang perjalanan kita dapat melihat Puncak Pemancar atau disebut dengan Hargo Puruso. Bendera merah putih terlihat berkibar-kibar terkena angin menjulai di atas pemancar itu. Lokasi itu lebih terkenal dengan sebutan Puncak Pemancar, karena di sana terdapat pemancar milik stasiun TVRI dengan tinggi lebih dari 10 meter.
Puncak Hargo Dumilah |
Sebelum sampai puncak, jalur yang kami lalui akan kembali bertemu dengan jalur utama, membuat perjalanan kembali berdebu. Tetapi buff sudah saya persiapkan, tinggal menarik ke atas buat menutupi hidung. Lima menit kemudian kami sampai di Puncak Hargo Dumilah bersama beberapa pendaki yang sudah ada di sana. Puncak ini masih sama seperti dahulu, dan tidak tampak adanya perubahan seperti yang saya lihat terakhir kali. Di sini kami istirahat sebentar, melihat lalu-lalang para pendaki yang saling bergantian berfoto. Mengabadikan moment terpentingnya Saya sendiri asik dengan beberapa burung jalak yang beterbangan di samping tempat kami duduk.
Turun kembali ke tempat camp
Setelah cukup puas berada di sini, kami kembali ke tempat kamp lewat jalur yang sama seperti pada saat berangkat. Mungkin tidak terlalu banyak yang tahu jalur ini, sehingga tidak perlu antri ketika simpangan dengan pendaki lain akibat debu yang cukup tebal. Sepanjang turun sampai ke Warung Mbok Yem, kami hanya berpapasan dengan dua orang saja, padahal di jalur utama cukup ramai para pendaki baik yang ingin naik maupun turun dari puncak. Tak lupa, kami menikmati makanan khas di ketinggian Lawu. P.e.c.e.l. Banyak pendaki yang sengaja datang ke sini untuk bernostalgia menikmati pecel di ketinggian Lawu, termasuk salah satu bapak yang berpapasan dengan kami tadi. Dia mendaki seorang diri hanya untuk merasakan pecel Mbok Yem yang khas katanya.
menikmati segarnya es buah di camp Gupak Menjangan. Sabana terhampar luas di belakang kami |
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan turun ke tenda. Masih saja kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang ingin naik menuju ke Puncak Hargodumilah. Hingga akhirnya kami tiba kembali ke tenda di antara pohon pinus yang sangat rindang. Di sini sudah ada teman yang tadi turun terlebih dahulu, menyiapkan sup buah yang sungguh menakjubkan. Kami istirahat sebentar di samping tenda sambil menikmati es buah yang dibungkus dengan wadah semangka ini. Jaman sekarang, harga bukan hanya tercermin dari kualitas barangnya saja, tetapi suasana membuat harga semakin melambung. So, kamu perlu porter buat bawa barang, jika gak mau capek angkut-angkut bawaan yang berat ke sin. Bongkahan semangka dengan berbagai jenis buah di mix jadi satu bersama susu, membuat sup buah ini begitu menggoda bagi siapapun yang melihatnya. Ingin rasanya berlama-lama lagi di sini, namun waktu mengharuskan kami untuk segera packing, dan kembali turun ke bawah.
Perjalanan kembali ke beskem
Setelah puas menikmati es buah, kami berbenah dan segera bergegas turun. Perjalanan turun kali ini kami tempuh relatif cepat. Setelah pos 5, kali ini kami memilih jalur sebelah kiri untuk mengenang jalur lama, mencari Cemoro Kembar yang sudah tidak dilewati lagi. Tetapi lebih baik kalian jangan lewat sini jika belum ada yang pernah melalui sebelumnya. Salah satu dari kami pernah lewat jalur ini. Dia ingin kembali merasakan jalur dulu, melewati Cemoro Kembar yang cukup kesan sebagai pintu masuk menuju padang sabana kala itu, namun jalur ini sekarang sudah ditutup, digantikan jalur lain yang lebih landai. Di jalur yang kami lewati ini, kami bisa menemukan Cemoro Kembar yang menjulang tinggi, walaupun sudah mulai agak sedikit rapuh.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, dan hanya berhenti beberapa menit saja di setiap pos, kecuali di mata air yang hampir setengah jam. Tak lupa kami mampir sebentar di sendang untuk membersihkan kaki sebelum kembali tiba di beskem. Sampai di tempat registrasi, kami melapor kembali dan mengambil kartu identitas yang kemarin ditinggal. Hari sudah sore ketika kami sampai di beskem. Sebentar lagi magrib tiba, dan kami bergegas untuk pulang ke rumah.
Berfoto di Cemoro Kembar, kalian hanya akan menemuinya jika lewat jalur lama |
see uu di next pendakian...
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan pembaca berkomentar dengan santun untuk memberikan saran dan masukan kepada kami, terimakasih.